SEORANG pemimpin sejati tidak akan pernah
ingkar janji, baik pada janji yang diucapkannya secara sadar kala menerima
amanah jabatan (pelantikan) lebih-lebih janji yang dilontarkan kepada rakyat
secara langsung lewat lisannya sendiri.
Nilai utama
seorang manusia terletak pada konsistensinya menepati janji (jujur). Jika
tidak, maka ia terkategori sebagai seorang munafik. Yaitu suatu karakter yang
melekat pada diri seseorang yang memang tidak punya komitmen terhadap kebenaran
(pendusta), konkritnya menepati janji.
Hal ini
sebagaimana disabdakan Nabi, “Tanda orang munafik itu ada tiga. Apabila
berkata ia dusta, apabila berjanji ia meningkari, apabila diberikan amanah
(diberi kepercayaan) ia mengkhianati.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Dan, orang
munafik seperti itu bukan saja merusak dirinya sendiri tetapi juga menebar
bahaya pada orang lain, lebih-lebih jika sifat tercela itu ada pada diri
seorang pemimpin.
لاَ تَعْتَذِرُواْ قَدْ كَفَرْتُم بَعْدَ إِيمَانِكُمْ إِن نَّعْفُ عَن طَآئِفَةٍ مِّنكُمْ نُعَذِّبْ طَآئِفَةً بِأَنَّهُمْ كَانُواْ مُجْرِمِينَ
“Orang-orang
munafik laki-laki dan perempuan. sebagian dengan sebagian yang lain adalah
sama, mereka menyuruh membuat yang munkar dan melarang berbuat yang ma’ruf dan
mereka menggenggamkan tangannya. Mereka telah lupa kepada Allah, maka Allah
melupakan mereka. Sesungguhnya orang-orang munafik itu adalah orang-orang yang
fasik.” (QS.
At-Taubah [9]: 67).
Ibnu Katsir
menjelaskan bahwa orang munafik adalah orang yang telah keluar dari kebenaran
dan secara sadar memasuki jalan kesesatan. Oleh karena itu, tempat bagi orang
munafik adalah neraka Jahannam. (QS. At-Taubah [9]: 68).
Waspadai
Penyebab Kemunafikan
Untuk itu,
seorang pemimpin perlu senantiasa waspada terhadap segala kemungkinan yang
menjadikan hatinya lemah apalagi lengah, sehingga pelan namun pasti dirinya
justru menjadi beban rakyat banyak karena sifat munafik di dalam dirinya
sendiri.
Ibn Khaldun
dalam kitab monumentalnya “Muqaddimah” menyatakan bahwa salah satu sebab utama
yang membuat pemimpin berubah menjadi pribadi munafik adalah kala mendapat
kekayaan. Umumnya akan bergaya hidup megah, mewah dan penuh keindahan.
Sikap hidup
semacam itu akan menjadikan kemewahan dan kemapanan hidup menjadi sesuatu yang
harus dipenuhi demi gengsi, sehingga makan pun bermewah-mewah, pakaian pun
demiian, bejana dan berbagai kebutuhan glamour lainnya.
Apabila hal
tersebut terjadi, maka seorang pemimpin dijamin tidak akan mampu berpikir
secara sehat,
apalagi membela kepentingan rakyatnya. Sebab, ia tidak bisa
merasakan apa yang dirasakan rakyatnya, jadi bagaimana mungkin ia berempati
terhadap penderitaan rakyat.
Ibarat kata,
rakyat kepanasan, macet, lapar, makan apa adanya. Pemimpinnya tidak pernah
kegerahan, lancar dalam perjalanan, kenyang dengan makanan lezat dan mahal, serta
tidak pernah berpikir mau makan apa tetapi makan dimana.
Hal-hal
sederhana inilah sebenarnya yang membuat seorang pemimpin gagal menepati janji.
Pantas, jika di zaman sahabat, tak satu pun dari sahabat Nabi mulai dari Abu
Bakar hingga Ali yang mau hidup bermewah-mewah. Sebagai pemimpin mereka yang
mulia menyadari bahwa kemewahan hanyalah pupuk penyubur sifat kemunafikan.
Dampak
Kemewahan
Menurut Ibn
Khaldun, dampak dari gaya hidup mewah dapat merusak kepribadian, karena
menghiasi jiwa dengan berbagai kejahatan, kebiasaan hidup yang tidak teratur,
dan berbagai dampak buruk lainna. Intinya, kemewahan akan menghapuskan
karakter-karakter terpuji diri seorang pemimpin.
Selanjutnya, pemimpin yang bergelimang kemewahan akan terperangkap pada kemalasan. Akibatnya akan muncul kelemahan jiwa dan tidak bersemangat dalam menghadapi berbagai situasi dan kondisi. Lebih-lebih dalam menghadapi masalah-masalah krusial di masyarakat.
Selanjutnya, pemimpin yang bergelimang kemewahan akan terperangkap pada kemalasan. Akibatnya akan muncul kelemahan jiwa dan tidak bersemangat dalam menghadapi berbagai situasi dan kondisi. Lebih-lebih dalam menghadapi masalah-masalah krusial di masyarakat.
Jika ke
depan, negeri kita masih di pimpin oleh orang-orang yang berkarakter hipokrit
tentu kehancuran negeri ini tidak perlu prediksi para ahli. Betapa
kenyataan-kenyataan menyayat hati yang terpampang di depan mata kepala setiap
jiwa dibiarkan menganga secara sengaja.
Sederhana
dan Bekerja
Dengan
demikian agar terhindar dari kemunafikan, seorang pemimpin mestinya sudah tidak
lagi memelihara impian untuk hidup dengan bergelimang kekayaan. Pemimpin
seharusnya berpikir bagaimana berkarya dan bekerja untuk rakyatnya. Karena
dengan itulah ia benar-benar akan bisa memberikan manfaat bagi kehidupan.
Belajarlah
pada apa yang dilakukan sahabat Nabi, mereka tidak hina hanya karena hidup
sederhana. Justru sebaliknya, setiap zaman memuja dan memuliakan mereka,
membanggakan mereka, menyebut-nyebut mereka. Bukan tunggangannya, pakaiannya
dan makanannya, tetapi kesederhanaannya dan kepeduliannya yang nyta terhadap
derita rakyatnya.
Mereka tidak
sibuk membangun citra, tetapi memperbanyak kerja nyata. Seorang Umar bin
Khaththab pemimpin tertinggi kala itu tidak melewati malam harinya, melainkan
berpatroli mencari rakyatnya yang kesulitan, lalu ia turun tangan dan
mengatasinya dengna kekuatan dirinya.
Semua itu
dilakukan karena rasa tanggung jawabnya sebagai seorang pemimpin. Menarikna,
meski Umar tidak pernah membayar awak media, kemuliaan beliau yang mau bekerja secara
nyata untuk rakyatnya ini tak pernah terhapus oleh pergiliran zaman.
Dengan
demikian, untuk apa jadi pemimpin jika niatnya tidak ingin menepati janji?
Selain akan dikutuk dan dilaknat oleh rakyatnya sendiri, Allah dan Rasul-Nya
juga akan melaknat. Sungguh, kerugian yang tiada tara. Dan, kemunafikan tidak
mungkin dipelihara, melainkan oleh orang yang rusak dan atau mungkin bahkan
sudah tidak lagi beriman. Naudzubillah.*
sumber : Hidayatullah.com (Rep. Imam Nawawi, Ed. Cholis Akbar)