Satu dekade pasca Reformasi 1998 muncul nostalgia akan orde baru. Sebagian kita rindu akan masa itu. Ekonomi pada masa itu dipandang lebih baik dari masa kini. Stiker yang biasa dipasang di kaca belakang mobil, menampakkan gambar penguasa Orba bersanding dengan tulisan "Penak zamanku tho?" menggambarkan hal itu. Tentu saja tulisan ini lepas dari kontestasi politik saat ini.
Pertanyaannya adalah apakah ekonomi zaman Orba seindah yang dibayangkan kini? Tentu di setiap orde ada kebaikan dan keburukan, tidak bisa kita hakimi secara hitam putih.
Untuk menyegarkan ingatan kita pada masa orba khususnya seputar ekonomi, menarik untuk membaca tulisan wartawan legendaris Rosihan Anwar dalam tulisannya yg berjudul "A Strong and Healthy Indonesia in the Eighties" yang dimuat di majalah Asia Pacific bulan Februari 1981 yang terjemahannya dimuat dalam buku beliau yg berjudul "Indonesia 1966-1983 dari koreponden kami di Jakarta. "
Beberapa petikan dari tulisan itu adalah sbb :
"Kendati terdapat beberapa masalah, dasawarsa 1980-an akan menyaksikan suatu Indonesia yang kuat dan sehat. Demikian kata Prof. Dr Emil Salim, Menteri Negara Pengawasan Pembangunan dan Lingkungan Hidup di depan pemirsa televisi Singapura bulan Desember yang lalu (tahun 1980). Pada saat pernyataan tersebut, Menteri pasti tahu beberapa waktu sebelumnya meletus huru-hara etnik di Jawa Tengah yang meminta korban delapan nyawa."
"Huru-hara mulai sebagai letupan spontan dan amarah mahasiswa di Solo, setelah terjadi kecelakaan lalu lintas tanggal 19 November (1980) menyangkut seorang pemuda keturunan Cina. Insiden itu digunakan untuk memulai huru-hara dan pembakaran. Pangkopkamtib Laksamana Sudomo menerangkan, huru-hara dilakukan oleh sekelompok orang yang hendak memulai revolusi dan mencapai tujuan politiknya dengan mengorbankan semangat anti-Cina dari rakyat.
"Cepatnya ketertiban dipulihkan memang tidak mengherankan.Golongan militer dengan kekuatan dan organisasinya mempunyai daya yang luar biasa. Tiada seorangpun di luar ABRI, apakah partai politik, organisasi mahasiswa, serikat buruh, atau kelompok-kelompok sipil dapat mengerahkan cukup kekuatan untuk menantang kekuasaan pemerintah. Ini menerangkan mengapa pemerintah Indonesia mampu memelihara stabilitas selama 15 tahun ini dan selama itu ia melaksanakan program pembangunan ekonomi.
"Kendati mengalami kemajuan besar dalam pembangunan sosial-ekonomi, tetap kentara kesenjangan antara kaya dan miskin. Huru-hara etnik di Jawa Tengah memberi peringatan akan kesenjangan itu. Kesenjangan itu harus diperkecil dengan lebih banyak tekad serta visi. Jika tidak huru-hara oleh warga yang tidak puas dapat saja terjadi.
"Pemerintah dapat merasa diri mantap dengan cadangan devisa pada akhir 1980 melampaui US$ 7 milyar. Gejala meningkatnya cadangan devisa ini menimbulkan suatu debat di kalangan politisi di Jakarta baru-baru ini. Anehnya seorang anggota DPR dari Golkar, yakni Gregorius Sugiharto menyatakan pendapat bahwa Indonesia tidak lagi membutuhkan bantuan luar negeri.Cadangan devisa yang bulan maret mendatang menjadi US$ 9 milyar menunjukkan kita dapat berdiri di atas kaki sendiri. Kita dapat bilang 'go to hell with your aid' kepada pihak bersangkutan, ujar Sugiharto.
"Mengenai IGGI, negeri-negeri donor pemberi bantuan kepada Indonesia, Sugiharto mengatakan IGGI bersedia memberikan pinjaman kepada Indonesia,bukan karena ingin Indonesia menjadi kuat, melainkan cuma agar dapat memenuhi kebutuhan dasarnya dan membeli produk-produk dari negeri-negeri industri. Kita tidak perlu berterima kasih kepada mereka, karena mereka telah banyak menarik keuntungan dari politik perdagangan mereka yang menyamar sebagai bantuan, ujar tokoh Golkar itu.
"Dapat dipahami ini tidak cocok dengan kebijaksanaan pintu terbuka mengenai ekonomi dari Presiden Soeharto.Sugiharto segera ditegur oleh Ketua Umum Golkar Mayjen Amir Murtono yang mengatakan kepada pers bahwa mempunyai cadangan devisa US$ 7,2 milyar tidak berarti kita tidak membutuhkan bantuan luar negeri. Juru bicara fraksi ABRI di DPR menambahkan, persyaratan bantuan luar negeri yang kita terima hingga sekarang adalah lunak dan tidak ada ikatan politik yang menyertainya. Ekonom Dr. Soemitro mengatakan kepada wartawan bahwa pandangan seolah-olah kita tiada lagi memerlukan modal asing adalah bodoh.
"Betapapun caranya orang memandang situasi ekonomi di Indonesia yang kini menguntungkan itu, toh faktanya menurut Bank Dunia, Indonesia adalah negeri yang sangat miskin, jauh tercecer di belakang negeri ASEAN lainnya. Diakui pendapatan per kapita telah meningkat selama tahun-tahun ini, akan tetapi manfaatnya tidak merata dan jumlah golongan sangat miskin meningkat.
"Prof. Sayogyo dari IPB, peneliti ekonomi pedesaan, menentukan garis kemiskinan pada 240 kg beras per orang setahun. Ia menemukan pada tahun 1976 terdapat 68 juta orang miskin dan 40 juta darinya berada di pedesaan Jawa. Angka-angka ini memberikan pemandangan tentang masalah yang dihadapi oleh Indonesia.
" Masalah lain ialah impor sejumlah besar beras. Walaupun produksi beras meningkat dan diperkirakan mencapai 20 juta ton pada tahun 1980, toh Indonesia adalah pengimpor beras terbesar di dunia. Orang dapat membayangkan tanpa bonanza minyak akan sangat sulit bagi Indonesia memberi makan kepada penduduknya.
"Ekspor minyak berjumlah satu juta barel sehari. Pentingnya minyak menjadi jelas, jika orang memperhitungkan bahwa 60% dari pendapatan negara berasal dari ekspor minyak. Laporan belum lama berselang dari Direktur Utama Pertamina bahwa perusahaam negara itu seluruhnya pulih menjelang akhir tahun 1980 dari malapetaka keuangan yang dialaminya lima tahun yang lalu disambut dengan perasaan lega. Sebagaimana diketahui Pertamina meminjam dari bank-bank Internasional atas dasar kredit jangka pendek sebesar US$10.500 juta pada awal 1975.Tatkala datang tekanan dari kreditor luar negeri, Pertamina tidak mampu memenuhi kewajibannya dan pemerintah harus menyelamatkan Pertamina.
Suatu kinerja mangkus dari Pertamina mempunyai dampak langsung terhadap APBN.Menurut Business News Jakarta, pemerintah kini tampaknya bertekad membiayai sendiri proyek-proyek besarnya, termasuk proyek hydrocracker di Dumai. Tiada lagi akan dibangun secara usaha patungan.Pemerintah juga menyatakan niatnya untuk memulai pembangunan pabrik-pabrik seperti pusay aromatik, olefin dan sebagainya. "
Itulah sekilas kutipan dari tulisan Rosihan Anwar, walaupun ringkas setidaknya dapat memberi sekelumit gambaran ekonomi Orba pada era 1980-an.