Bicara masalah Redenominasi memang sensitif tapi perlu. Seringkali isu ini disandingkan dengan Sanering. Bedanya Redenominasi lebih kepada penyederhanaan nilai mata uang tanpa mengurangi daya beli, sedangkan Sanering adalah pemyederhanaan nilai mata uang disertai dengan pengurangan daya beli.
Pemerintah berencana melakukan Redeniminasi dengan menghilangkan tiga angka nol di belakang Rupiah. Uang pecahan Rp100.000 jadi Rp100, Rp10.000 jadi Rp10 dst.
Contoh Redenominasi :
Sebelum Redenominasi harga semangkok bubur ayam Rp 10.000,-
sedangkan setelah Redenominasi harga semangkok bubur ayam Rp 10,-
Nilai Rupiah berubah (penyederhanaan nilai) tapi daya beli tidak berubah.
Sedangkan contoh Sanering :
Sebelum Sanering harga 1 liter bensin Rp 10.000
Setelah Sanering uang Rp 10 hanya bisa untuk membeli 0.001 liter bensin.
Nilai Rupiah berubah begitu juga daya belinya.
Sanering dilakukan ketika ekonomi sedang tidak stabil, sedangkan Redenominasi dilakukan ketika ekonomi stabil.
Salah satu yang berhasil dalam melakukan redenominasi adalah Turki dengan mata uang Lira .
Turki melakukan redenominasi lewat beberapa tahap. Tahap pertama, mata uang TL (Lira lama) dan YTL (Lira baru) tetap beredar secara simultan selama setahun. Setelah setahun, mata uang TL akan ditarik. Waktu setahun ini bertujuan agar warga memiliki waktu leluasa menggantikan TL ke YTL.
Pada tahap kedua, seperti di banyak negara, setelah beberapa tahun, mata uang YTL dikembalikan menjadi TL. Dengan kata lain, penggunaan TL dengan angka nominal baru dipulihkan.
Untuk membantu pengenalan mata uang baru dan untuk menghindari kebingungan dalam proses penggunaan YTL dari TL, dua mata uang dengan daya beli serupa itu dicetak dalam warna dan desain serupa. Misalnya, desain dan warga mata uang 1 YTL sama dengan 1.000.000 TL.
alah satu negara yang tergolong relatif sukses melakukan redenominasi adalah Turki, seperti tertulis dalam makalah The National Currency Re-Denomination Experience in Several Countries—a Comparative Analysis” oDuca Ioana, dosen dari Titu Maiorescu University Bucharest, Romania.
Romania juga tergolong sukses melakukan redenominasi sehubungan dengan niatnya bergabung dengan zona euro. Steve Hanke adalah ekonom AS yang pernah mencoba menerapkan redenominasi pada akhir Orde Baru di Indonesia, tetapi batal. Namun, dia mengajari Bulgaria melakukan redenominasi yang tergolong berhasil.
Juga dalam rangka persiapan memasuki keanggotaan Uni Eropa, walau agak berat, Turki memutuskan redenominasi pada tahun 1998.
Setelah persiapan tujuh tahun, mulai 1 Januari 2005, pada awal tahun anggaran, Turki melakukan redenominasi terhadap lira. Redenominasi dilakukan di awal tahun anggaran dengan tujuan agar semua catatan pembukuan keuangan negara dan perusahaan langsung menggunakan mata uang baru dengan angka nominal yang lebih kecil.
Masalah krusial yang terjadi pada proses Redenominasi menurut Muhaimin Iqbal (geraidinar.com 04/08/2010) adalah reorientasi nilai, orientasi di otak kita telah terbiasa dengan angka-angka besar. Ketika angka-angka tersebut berubah menjadi kecil, kita harus melatih otak kita untuk terbiasa dengan angka-angka yang menjadi kecil ini. Nampaknya mudah, tetapi karena ini harus terjadi secara massal bagi seluruh pengguna Rupiah – maka diperlukan sosialisasi yang efektif.
Apa dampaknya bila Reorientasi nilai tidak berjalan efektif ?, harga-harga bisa kacau. Misalnya si embok tukang bayem biasa menjual satu ikat bayemnya Rp 2,500,-. Dalam mata uang Rupiah baru angka tersebut seharusnya menjadi Rp 2.5,- tetapi dibenak si embok menyatakan bahwa angka Rp 2.5 ini terlalu kecil, maka dinaikanlah harga bayem dinaikkan menjadi Rp 3,-. Tanpa sadar Anda sebagai pembeli-pun meresponse angka Rp 3 tersebut dapat diterima karena lebih mudah membayarnya – dan terasa kecil oleh Anda. Maka apa yang terjadi sesungguhnya adalah inflasi 20% terhadap harga bayem.
Begitu pula harga dinar misalnya saat ini 1 Dinar Rp 2.160.000,- setelah redenominasi harga dinar menjadi Rp 2.160,- . Kita yang selama ini terbiasa dengan nilai dinar yang tinggi, akan menganggap harga dinar terlalu rendah, maka ini akan merangsang penjual (bahkan juga pembeli) melakukan reorientasi nilai terhadap dinar. Dan ini sifatnya sementara sebelum publik mulai terbiasa dengan orientasi nilai yang sebenarnya.
Jadi baik produsen, pedagang mapun konsumen harus membiasakan kembali response otomatisnya yang akurat terhadap harga atau nilai barang-barang yang wajar – inilah Reorientasi yang saya maksud.
Terkait efek redenominasi terhadap harga Dinar atau emas sendiri tidaklah signifikan. Sebab harga dinar dan emas dipengaruhi oleh 3 faktor, pertama harga emas internasional, kedua nilai tukar Rupiah dan Dollar, dan ketiga harga emas Jakarta yang diwakili logam mulia. Daru tiga faktor di atas yang paling berpengaruh signifikan adalah poin pertama yang perannya lebih banyak dimainkan oleh pasar emas Amerika dan Eropa.
Jadi selagi proses redenominasi berjalan normal harga Dinar atau emas tidak terpengaruh signifikan, kecuali proses redenominasi ini gagal sehingga memicu inflasi yang signifikan disebabkan salah satu orientasi nilai yang salah atau bahkan tuduhan rakyat kepada pemerintah adanya force inflation atau inflasi yang dipaksakan, maka nilai Dinar bisa naik signifikan karena nilai Rupiah justru makin terpuruk pasca redenominasi. wallahu 'alam.
No comments:
Post a Comment