Setelah menderita perang saudara selama 7 tahun, Sudan Selatan mengalami krisis mata uang lokal karena Hyperinflasi. Akibatnya pemerintah beralih ke mata uang Dollar sebagai alat tukar resmi.
Namun penggunaan mata uang Dollar menyebabkan negara ini terjebak dalam tingginya impor barang-barang luar negeri dan utang yang membengkak.
Akibatnya bank sentral mengambil keputusan untuk kembali ke mata uang domestik yaitu South Sudan Pound.
Sudan Selatan sendiri mengandalkan minyak sebagai sumber pemasukan utama. Namun kekayaan minyak ini tidak otamatis membuat makmur. Karena ketergantungan dalam eksplorasi minyak perusahaan asing, negara ini terjebak dalam konsesi dan utang. Dari kapasitas produksi 170.000 barel per hari, yang didapat hanya 50.000 barel, karena sisanya untuk membayar utang perusahaan minyak.
Kebijakan menghentikan penggunaan Dollar AS dalah pukulan keras bagi importir, hotel, restauran, travel, dan bank regional yang selama ini susah payah bertahan akibat ketidakstabilan ekonomi dan politik.
Sumber : theeastafrican.co.ke
No comments:
Post a Comment