www.gata.com

Grafik Pergerakan Harga Dinar dalam Rupiah & Dollar AS


 

Tuesday, March 9, 2021

Nama Seorang Muslim yang Akan Membebaskan Al Aqsha

Hati seorang mu’min itu seperti burung; satu sayap adalah rasa takut, sementara sayap yang lain adalah harapan dan kemurahan hati.”

Ibnul Qayyim.

Keterpurukan

Pada tahun 1099, setelah gerombolan Pasukan Salib pertama melakukan perampokan atas Baitul Maqdis dan Suriah, seorang Qadhi (hakim) dari kota Damaskus menghadap ke pengadilan khalifah di Iraq. Ahli Sejarah Ibnu Al-Athir menjelaskan dengan kalimat ini:

Tanpa memakai turban, dan rambut dalam keadaan tercukur habis sebagai tanda berkabung, Qadhi Abu Sa’ad Al-Haraqi melaju tergesa-gesa dengan isak tangis yang keras menuju ke hadapan pengadilan Khalifah Al-Mustazhir Billah. Kerumunan masyarakat, muda dan tua, mengikuti pergerakannya.

Berani-beraninya kau tidur dan berpuas-puas diri di dalam keadaan yang aman sentosa, hidup dikelilingi bunga yang indah nan beraneka ragam, sedangkan saudaramu di Syam dan Baitul Maqdis tidak memiliki tempat tinggal untuk sekadar menyimpan pelana kuda dan perut-perut burung nasar? Darah telah tumpah! Para pemudi telah dipermalukan, dan sekarang mereka harus menutup muka manisnya di balik tangannya! Apakah para Muslimin yang gagah dapat menerima ini?”

Hal-hal yang menyebabkan kekejian ini telah disimpulkan dalam karya seorang penulis Muslim, Ibnu Al-Qalinisi.

Ia menyatakan bahwa jalanan Baitul Maqdis kala itu dipenuhi mayat-mayat Muslimin, yang telah dibantai oleh pedang-pedang pasukan salib selama satu pekan.

Sekira 70.000 di antaranya dibunuh di kompleks Masjid Al-Aqsha, sedangkan ribuan orang Yahudi dibakar di dalam sinagog-sinagog mereka.

Bau busuk mayat menyeruak di udara Baitul Maqdis selama berbulan-bulan, sementara jalanan-jalanan banjir dengan darah setinggi betis.

Seperti penutupan Masjidil Aqsha yang kita saksikan hari ini, tempat suci tersebut ditutup setelah perang salib pertama.

Tempat tersebut menjadi kandang kuda para tentara salib, yang juga menjadi simbol penghinaan. Babi-babi pun diternak di dalam masjid.

Saat itu, tidak ada shalat serta azan yang dikumandangkan di Tanah Baitul Maqdis, selama hampir satu abad.

Harapan

Delapan puluh delapan tahun setelahnya, tahun 1187, salib-salib sudah hilang, suara lonceng sudah tidak terdengar, babi-babi tidak lagi terlihat, pasukan salib – termasuk para pemukanya – telah diberantas.

Muslimin kembali memasukinya dan mengumandangkan azan. Azan dikumandangkan sebagai upaya mengusir syaithan – syaithan dari tanah yang suci ini selamanya, seperti sabda Rasulullah Shallallahu ‘alayhi wa sallam:

Ketika azan dikumandangkan, syaithan lari terbirit-birit….” (HR Bukhari)

Kebenaran telah datang, dan kebathilan telah hancur dan kalah. Keceriaan telah tersebar luas, dan kesedihan telah dibungkam.

Tidak seperti kebarbaran dan kebrutalan pasukan salib, penguasaan Muslim benar-benar berbeda.

Seorang ahli sejarah Inggris, Sir Steven Runciman menulis:

Kemenangan Muslimin diketahui dengan keadilannya dan sangat manusiawi, sementara para pasukan salib telah bergelimang di atas darah para musuhnya selama 88 tahun. Tidak ada rumah yang dijarah, tidak ada seorang pun yang disakiti.”

Para polisi, di bawah perintah Shalahuddin Al-Ayyubi, mulai berpatroli di jalanan dan gerbang-gerbang, untuk mencegah adanya upaya penyerangan dari kaum Nasrani.”

Shalahuddin berkata bahwa ia akan membebaskan semua orang tua, pria maupun wanita. Para istri pasukan salib pun datang dengan matanya yang sembab disebabkan air mata.

Mereka bertanya kepada Shalahuddin perihal nasib mereka setelah para ayah dan suami mereka terbunuh atau ditawan.

Shalahuddin berjanji untuk melepaskan suami-suami mereka yang berada dalam tahanan, juga akan menyantuni para janda dan yatim dengan hartanya sendiri, sesuai dengan status mereka masing-masing.

Sesungguhnya, kasih sayang adalah kebalikan dari apa yang ditunjukkan pasukan salib pada perang salib pertama.

Masjid Al-Aqsha pun penuh dengan tangis haru dari hati-hati yang gembira. Ini masuk ke daftar pembebasan Shalahuddin.

Dan ketika kami sedang menunggu shalat Jum’at, ketika aku menulis ini, aku teringat akan khutbah pertama yang disampaikan di Al-Aqsha setelah pembebasannya yang disampaikan oleh Qadhi Muhyiddin bin Az-Zaki.

Kutipan Khutbah Kemenangan

Memuji Allah

“Segala puji bagi Allah yang telah menghinakan kesyirikan dengan keesaanNya, segala peristiwa yang terjadi di bawah kuasaNya. Segala puji bagiNya, yang telah menghukum musuh-musuh Islam dari arah yang mereka tidak sadari.”

“Kami memuji Allah yang telah membuat hamba-hambanya meraih kemenangan dan kekuasaan, yang telah memuliakan orang-orang terdekatNya dan menolong mereka yang menolong Islam, karena telah menyucikan rumah suci dari kekejian.”

Shalawat kepada Rasulullah

“Aku bersaksi bahwa Muhammad Shallallahu ‘alayhi wa sallam adalah hamba dan utusanNya, pembasmi kesyirikan, pelawan kebohongan, yang telah melakukan perjalanan malam hari dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha, dan diangkat ke langit tertinggi, hingga Sidratul Muntaha.

Pujian kepada Mujahidin

“Wahai umat, semoga rahmat Allah meliputimu, yang mana itu adalah tujuan dan status tertinggi yang telah diberikan Allah kepada kita: direbutnya kembali kota ini kepada kita dari masyarakat yang sesat, yang mana telah disucikan kembali dengan Islam, setelah dikuasai kesyirikan hampir 100 tahun lamanya.”

“Selamat kepada kalian, karena Allah telah menyebut kalian di antara orang-orang terdekatNya; Dia telah menjadikanmu sebagai pasukanNya dan telah memuji di kalangan malaikatNya, karena semua yang telah kau lakukan demi menghilangkan segala kebohongan dari tempat ini.”

Pujian kepada Shalahuddin

“Dan tidak melupakan juga bahwa engkau, Shalahuddin, termasuk ke dalam orang-orang yang dipilih Allah di antara hamba-hambaNya dan seluruh manusia di bumiNya ini. Kabar gembira bagi engkau dengan tentara yang mana ditangannya muncul pertempuran-pertempuran ajaib, dengan tekad seperti Abu Bakar Ash-Shiddiq, penaklukan seperti Umar bin Khattab, tentara-tentara seperti Utsman bin Affan, kekuatan seperti Ali bin Abi Thalib.”

“Engkau telah mengembalikan Islam seperti dahulu kala perang Qadisiyah, Yarmuk, dan Khaibar, dan pertempuran-pertempuran lainnya yang dipimpin oleh Khalid bin Walid. Semoga Allah membalasmu dengan sebaik-baiknya kebaikan dan menghargai segala sesuatu yang kau telah perbuat.”

“Semoga Allah membalasmu karena telah memberikan jiwa dan raga untuk melawan musuh, dan semoga Allah menerima apa yang engkau pertaruhkan dari darahmu yang bertujuan untuk semakin dekat kepadaNya, dan membalasmu dengan surgaNya, sebagai puncak rahmatNya.”

Persatuan

“Maka pujilah Allah, yang telah menguatkan tekad ketika Bani Israil menolak untuk melakukannya di kala mereka adalah kaum yang terpilih untuk melakukannya, Ia memampukan kaummu untuk melakukannya; ketika kaum-kaum sebelummu gagal, dan mempersatukan kamu setelah terpecah belah.”

Kemenangan dari Allah

Demi Allah “kemenangan tidak datang kecuali dari Allah, sesungguhnya Allah Mahabijaksana dan Mahaperkasa.”

“Jikalau ada 20 pasukan, mereka akan mengalahkan 200.”

“Jika Allah telah menolong kamu, maka tak ada yang bisa mengalahkanmu, dan jika ia meninggalkanmu, maka siapa lagi yang akan menolongmu setelahnya?”

Kesimpulan

Sejarah akan mengingat mereka para pemberani dan berjiwa mulia, dan melupakan orang-orang pengecut dan pengkhianat.

Respons dari khalifah setelah Qadhi Al-Harawi berpidato di hadapannya di awal artikel bahwa dia ingin menghukum kelompok tersebut, karena kedatangan mereka di Baghdad bersamaan dengan kedatangan istri keduanya dari Isfahan.

Sejarah tidak mengingat Mustazhir Billah, tetapi mengingat Qadhi Al-Harawi dan kawan-kawannya atas aksi yang mulia tersebut.

Kita juga harus mengambil pelajaran di sini bahwa setelah kesulitan pasti akan ada kemudahan, setelah kekalahan akan ada kemenangan.

Apa yang terjadi di Al-Aqsha hari ini adalah sebuah tragedi dan hati terisi penuh oleh rasa sakit.

Bagaimanapun, kita harus ambil sebuah hikmah untuk melihat kekacauan ini dari sisi baiknya.

Jikalau tidak terjadi kekacauan semacam ini, tidak akan lahir para pahlawan, pejuang, dan legenda-legenda Islam.

Tanpa kekacauan di zaman Fir’aun, kita tidak akan punya Musa ‘alayhissalam, tanpa kekacauan di masa perang salib, kita tidak akan punya Shalahuddin.

Tanpa kekacauan di zaman Mongol, kita tidak akan mempunyai Saifuddin Qutuz dan masih banyak sekali contoh-contoh pahlawan-pahlawan besar Islam lainnya.

Mirip dengan hal di atas, tanpa kekacauan penjajahan ‘Israel’, kita tidak akan punya..................(kalimat selanjutnya dikosongkan untuk diisi oleh nama seorang nanti yang akan datang dan akan tercatat di dalam sejarah, ketika dia atas izin Allah Subhanahu wa Ta’ala membebaskan Baitul Maqdis). (Islam21c.com)

 

No comments: