www.gata.com

Grafik Pergerakan Harga Dinar dalam Rupiah & Dollar AS


 

Tuesday, June 16, 2020

Hanya Satu Negara Asia yang Mengkhawatirkan

Negara-negara Asia saat ini mengalami guncangan  ekonomi akibat pandemi covid 19. Hampir seluruh negara mengalami defisit fiskal (berkaitan dengan pendapatan dan belanja suatu negara) atau kondisi dimana pengeluaran lebih besar dibanding pemasukan dalam anggaran suatu negara yang ditandai dengan peningkatan utang.

Brad Sester peneliti senior di Council on Foreign Relations dalam kolom opininya di Financial Review (14/6) menyatakan bahwa umumnya negara-negara Asia sanggup mengatasi masalah utang ini kecuali satu negara. Berikut paparan ringkasnya :

Taiwan
 Negara ini relatif percaya diri dalam menangani krisis utang. Taiwan mengalami surplus neraca berjalan 10,5% sebelum pandemi. Dengan jangkauan investasi di berbagai negara dan sistem kesehatan masyatakat yang disiplin, Taiwan relatif kuat menghadapi u
guncangan ekonomi dibanding Amerika dan Eropa

Korea Selatan
Negeri ginseng ini secara umum berada pada posisi yang sama, berbeda dengan negara G20  lainnya, Korea Selatan berhasil mempertahankan surplus neraca fiskal dan pertumbuhan ekspor pasca krisis keuangan global tahun 2008. Mata uang Won yang kompetitif di pasar dunia menguntungkan ekspor produk mereka di berbagai negara.

Jepang
Tidak jauh berbeda dengan Taiwan dan Korsel, negeri dengan kekuatan militer yang tangguh pada PD II ini telah berhasil mengurangi beban utang sahamnya yang cukup besar seraya mengurangi perannya sebagai kreditor global (salah satu contohnya IGGI dan CGI bagi Indonesia pada masa Soeharto).Pemerintah Jepang juga efisien dalam mengelola dana pensiun warganya. Dalam mata uang asing, asetnya melampaui kewajibannya (utang).

Cina
Cina juga tidak mengalami kesulitan keuangan secara langsung. Walaupun Cina mengalami kenaikan utang dalam negeri pada 2008. Namun bukan utang pemerintah pusat (utang swasta). Cina lebih memilih stimulus ekonomi pada 2009 melalui investasi pemerintah daerah. Perusahaan pemerintah didanai oleh bank pemerintah dan memberi peluang bagi pengusaha swasta untuk mengelola perusahaan negara apabila dipandang swasta lebih  cakap dalam mengelolanya di bawah legal pemerintah.

Utang domestik dan investasi Cina yang besar ini dibiayai secara internal didukung oleh jaringan pengusaha Cina di luar negeri (China Overseas). Cina tidak pernah mengalami defisit neraca berjalan dan terus membagun aset di luar negeri (termasuk Indonesia). Secara global Cina adalah kreditor (pemberi utang) bukan debitor (pelaku utang).

Risiko terbesarnya adalah Cina menurut Brad Sester tidak melakukan stimulus yang cukup karena khawatir beban utang domestiknya sehingga tidak optimal dalam aktivitas ekspornya.

Indonesia
Menurut Brad Sester hanya satu negara dari kekuatan ekonomi di Asia Timur yang benar-benar mengkhawatirkan. Dia adalah Indonesia. Rasio utang publik terhadap PDB adalah 1/3. Namun karena tingkat tabungan yang rendah dan basis pajak domestik yang kecil, maka Indonesia memilih berutang ke luar negeri. 

Pemerintah Indonesia memasuki tahun 2020 dengan berutang sebesar $200 miliar, termasuk penjualan obligasi (surat utang) dengan denominasi Rupiah sekitar $80 miliar yang tersimpan di luar negeri. Tidal seperti kebanyakan kekuatan ekonomi Asia lainnya, Indonesia tidak pernah memilki cadangan devisa yang signifikan. Oleh karena itu ekonominya rentan.

Pinjaman negara dalam bentuk Rupiah menghindarkan kejatuhan mata uang Domestik tahun 2020 ini, karena beban utang mata uang domestik tidak terpengaruh fluktuasi mata uang asing.

Namun menurut Hyung Song Shin dari Bank of International Settlement utang mata uang lokal dapat menjadi pedang bermata dua. Satu sisi pemerintah dapat menyerap guncangan mata uang lokal (karena denominasi Rp bukan mata uang asing seperti Dollar), namun di sisi lain arus keluar investor asing dari pasar obligasi dapat menghasilkan volatility.

Sebagai contoh penjualan obligasi Rupiah oleh investor asing berkontribusi terhadap arus keluar neraca pembayaran yang menyebabkan turunnya cadagan devisa sejumlah $10 miliar pada bulan Maret silam . Kemudian Indonesia menempatkan obligasi senilai $4,3 miliar dari investor asing pada bulan April. Untuk mendanai defisit sejumlah 5% dari Produk Domestik Bruto (PDB) ini, Indonesia butuh pinjaman yang lebih tinggi lagi. Inilah tantangan pendanaan pemerintah Indonesia, yaitu tidak stabilnya investor asing untuk masuk dan keluar dari pasar keuangan Indonesia.