www.gata.com

Grafik Pergerakan Harga Dinar dalam Rupiah & Dollar AS


 

Wednesday, August 30, 2023

BRICS SUMMIT Berakhir tanpa Kesepakatan Mata Uang Bersama.

Sejumlah negara menghadiri pertemuan tingkat tinggi yang tergabung dalam BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) yang berakhir Kamis pekan lalu di Afrika Selatan.

Pertemuan tersebut berhasil menambah keanggotaan baru yaitu Arab Saudi, Iran, Mesir, Ethiopia, Argentina, dan Uni Emirat Arab . Perluasan anggota ini adalah yang pertama selama 13 tahun terakhir sebagai alternatif dari kelompok bentukan barat.

Pembicaraan mengenai penggunaan mata uang bersama kelompok BRICS sebagai rival dari Dollar tidak terwujud karena perbedaan pendapat yang mengemuka. Padahal penggunaan Dollar di dunia sendiri mencapai rekor sebesar 46%.

Presiden Brazil Luiz Inacio Lula Da Silva menekankan perlunya menggunakan mata uang lokal dalam investasi dan perdagangan seraya menyingkirkan Dollar. Sedangkan presiden Rusia Putin juga trauma dengan Dollar akibat sanksi ekonomi akibat invasi Ukraina. Xi Jinping presiden Cina yang juga bersebrangan dengan AS menginginkan reformasi sistem moneter dan keuangan internasional dengan mengajukan Yuan sebagai mata uang masa depan. Sedangkan India yang diwakili menteri Perminyakannya berharap  Rupee lah yang menjadi mata uang terkemuka di dunia.

Jim ONeill mantan ekonom Goldman Sachs mengatakan sulitnya negara-negara BRICS sepakat karena konflik yang ada di sebagian negara tsb. Contohnya Cina dan India masih konflik di daerah perbatasan dan faktor-faktor ekonomi dan politik lainnya.







Tuesday, August 8, 2023

Bolivia di bawah Gurita Mata Uang Cina Yuan

Bolivia resmi menggunakan mata uang Cina Yuan, sebagai alat pembayaran baik ekspor maupun impor. Menjadikan Bolivia sebagai negara ke tiga di Amerika Selatan yang resmi menggunakan mata uang Yuan  dan menggeser Dollar sebagai alat tukar pembayaran internasional.

Antara Mei dan Juni 2023 Bolivia membukukan transaksi internasional sejumlah 278 juta Yuan (atau USD38,7 juta) setara dengan 10% dari total perdagangan luar negeri periode tsb menurut menteri ekonomi Bolivia Marcelo Montenegro, Selasa pekan lalu.

"Kami sudah menggunakan Yuan (sebagai alat transaksi internasional), ini adalah sebuah realitas dan awal yg baik" kata Marcelo selama konferensi pers. " Eksportir industri pisang, seng, dan kayu olahan sudah menggunakan Yuan dalam transaksi perdagangan, sebagaimana importir kendaraan dan barang modal." tambahnya.

Bolivia menjadi negara Amerika Selatan ketiga yang menggunakan Yuan, setelah Argentina dan Brazil. Ketiga negara tersebut berada di bawah pemerintahan beraliran kiri.

Meningkatnya penggunaan Yuan di negara-negara Amerika Latin dan Karibia, tidak lepas dari keinginan untuk meningkatkan hubungan yang lebih kuat dengan Cina seraya secara perlahan melepaskan diri dari pengaruh Dollar dan Amerika secara umum, menurut Margaret Myers, direktur the Asia & Latin America Program.

Penggunaan Yuan ini seiring meningkatnya jejak invetasi dan perdagangan Cina di negeri tsb

"Ada kecemasan di Washington terkait ancaman hilangnya peran khusus Dollar di kawasan Amerika Latin" kata Benjamin Gedan direktur the Asia & Latin America Program yang berbasis di Washington-Wilson Center.

Di Brazil, mata uang Yuan mengungguli Euro sebagai mata uang asing populer ke dua sebagai cadangan devisa. Di akhir 2022 cadangan devisa Bank Sentral dalam Yuan adalah 5,37% dibanding Euro sejumlah 4,74%.
 
Di Bolivia, Yuan mulai muncul setelah langkanya Dollar selama berbulan-bulan yang mempengaruhi perekonomian negeri itu sejak Februari.

Sejumlah analis dan oposisi mempertanyakan penggunaan Yuan dalam transaksi internasional ini.

Selama kunjungannya ke Cina, presiden Brazil Luis Inacio Lula Da Silva, mempertanyakan eksistensi Dollar dalam perdagangan internasional. " Siapa yang memutuskan Dollar sebagai mata uang internasional setelah hilangnya Gold Standard" kata Da Silva.

"Cina benar-benar ingin menantang dominasi Dollar sebagai mata uang internasional, baik dalam tujuan praktis atau simbolis" kata Gedan.

Sumber : APNews.com





Arab Saudi mulai Investasi sektor Pertambangan


Sudah sejak lama komoditas utama Arab Saudi adalah minyak. Selama puluhan tahun Arab Saudi menikmati kucuran petro dollar dari sumber daya tsb.

Namun pemerintah Arab Saudi memahami suatu waktu cadangan minyak akan habis. Sehingga visi Arab Saudi tidak lagi mengandalkan minyak namun merambah mulai dari sektor pariwisata, layanan kesehatan , pendidikan, hingga olahraga termasuk pertambangan.

Pekan lalu Arab Saudi meneken kontrak US$2,6 miliar dalam investasi pertambangan.  Saudi juga menggelar pembicaraan dengan perusahaan tambang emas ternama Barrick Gold untuk investasi di tambang tembaga Pakistan.

Di satu sisi Cina selama puluhan tahun menjadi konsumen bahan tambang utama dunia dan pemain di sektor permodalan.  Kebutuhan sumber daya Cina sangat tinggi, seiring kecepatan pertumbuhan industrinya. Karena tensi dengan mitra negara-negara baratnya amat tinggi,.maka Cina mulai melirik negara mitra lain termasuk Arab Saudi.

Arab Saudi ingin mengambil porsi investasi pertambangan dunia seiring Visi Saudi 2030 yang mulai melepas statusnya sebagai produsen minyak utama.

Arab Saudi melakukan investasi besar-besaran di aset industri dan finansial bahkan di dunia olahraga dengan mendatangkan pemain golf profesional dan sepakbola.

Manara Minerals perusahaan tambang Saudi berencana untuk berinvestasi mulai dari Indonesia hingga Kanada, dalam produk tembaga, nikel, dan produk tambang lainnya.

Investor dari Timur Tengah juga datang dari Qatar, yang siap menjadi penyandang dana investasi pertambangan, menurut Robert Friedland yang dalam beberapa tahun terakhir, membangun tambang tembaga terbesar di Kongo, dengan dana dari Cina.

" Saat ini bisa jadi investor tambang terbesar akan datang dari kawasan Timur Tengah." kata Friedland dalam sebuah wawancara bulan lalu.

Namun Arab Saudi menjanjikan hal lain selain dana segar. Namun juga jaminan politik, terutama akses ke negara-negara muslim yang masih memiliki cadangan sumber daya yang masih memadai.

Sumber:  Bloomberg