Ketika sampai di lokasi, saya pun "terseret" beliau di jamu ala VIP. Saya makan malam satu meja dengan Ulama Ketua Ikatan Ulama Muslim Se Dunia (Rabitah Ulama Lil Muslimin), Prof Al Amin Al Hajj. Di meja sebelah ada pula beberapa tokoh seperti Prof.Machfud MD (ketua MK), Dr.Abraham Samad (ketua KPK), Bambang Widjajanto (wakil ketua KPK), Taufik Ismail (Pujangga angkatan 66), Dr.Hamid Fahmi Zarkasyi (ketua MIUMI), Bachtiar Natsir Lc (sekjen MIUMI), guru saya Dr.Suhairy Ilyas (MUI Pusat) dll.
Tidak beberapa lama kemudian tokoh-tokoh di meja sebelah pun bubar, dan beberapa dari mereka menyalami Cholil Ridwan dan selanjutanya pergi menuju ruang deklarasi. Kamipun melanjutkan makan malam, tiba-tiba Tufik Ismail tergopoh-gopoh kembali bersama seorang panitia. Apa pasal? oalah ternyata tas beliau hilang. Beliau mencari di bawah meja, sambil berkata "Tadi tas itu saya taruh dibawah meja sini". Ternyata di dalam tas itu pulalah naskah puisi yang akan dibacakannya saat deklarasi yang tinggal beberapa menit saja lagi berada.Tentu saja beliau agak panik mencarinya. Panitia pun menenangkan beliau "mungkin tertukar dengan peserta lain pak (yang sama-sama satu meja barusan).
Saya tidak tahu lagi kabar tas beliau, namun sepertinya beliau menemukan kembali tasnya karena beliau tampil membawakan puisi yang beberapa kali mendapat sambutan hangat dari hadirin. Berikut beberapa potongan puisi yang nyaris hilang tersebut, saya kutip dari istanailmu.com :
Mencari Sekolah yang Mengajarkan Rasa Malu
Seorang ibu membawa anaknya ke sekolah A
dia mengajukan permohonan
“Tolong, tolong anak saya diajari rasa malu,” katanya
Kemudian, jawab kepala sekolah
“Waaah, di sekolah kami tidak diajarkan rasa malu,”
“Loh, kenapa, pak?”
“Begini, Bu, ketika murid-murid nyontek, guru-guru kami pura-pura tidak tahu,”
“Ooooh…”
Ibu itu pergi, membawa anaknya ke sekolah B
dia menyebutkan permintaan yang serupa
“Bu, bu, tolong anak saya diajari rasa malu,” ujarnya
Kemudian, jawab ibu kepala sekolah
“Waadduh, di sekolah kami tidak lagi diajarkan rasa malu,”
“Loh, bagaimana toh itu maksudnya, Bu Kepala Sekolah?”
“Begini, begini… Ketika UAN,
ada guru ditugaskan diam-diam,
kepada murid memberi jawaban ujian,”
“ooooo…”
Ibu yang gigih itu
ibu itu sangat gigih
dia membawa anaknya ke sekolah C
dia mengulang lagi permintaan itu juga
“Pak, pak, pak, pak, tolong anak saya diajari rasa malu,” ujarnya
Jawab kepala sekolah,
“Yaaaah, kok nggak tau sih ibu ini?
Di sekolah kami kan sudah lama sekali tidak diajarkan rasa malu,”
“Loh, bagaimana itu penjelasannya Pak Kepala Sekolah?”
“Walah, walaaah, sekolah kami sudah seratus persen lulusnya,
dan itu harus dicapai dengan segala cara,”
“Bagaimana itu caranya pak?”
“dee ngaan see gaa laa caa rraa…”
“ooooooooo…”
9 (sembilan) “O”-nya itu
***
Tiga Kali Potong
Di Republik Rakyat Tiongkok koruptor dipotong leher
Di Arab Saudi koruptor dipotong tangan
Di Indonesia koruptor dipotong masa tahanan
Saya dapat dari sampeyan. Terima kasih!
(sembari Taufik Ismail menunjuk ke salah seorang di depannya)
Dua Kali Mundur
Di Jepang, menteri merasa salah memang mundur
Di Indonesia, menteri jelas salah pantang mundur
(“Puisi terakhir, inspirasi dari Datuk Sri Anwar Ibrahim yang memberikan perbandingan ini diceramahnya di teater kecil di TIM [Taman Ismail Marzuki, Jakarta]“, kata Taufiq)
Sama Saja Serakahnya, Sama Saja Serakahnya, Cuma… Titik, Titik, Titik
Koruptor di negara bekas jajahan Inggris
geraknya halus, tidak terus terang, lumayan sopan, masih ada rasa segan
Koruptor di negara bekas jajahan Belanda
kasar tingkahnya, gayanya blak-blakan, tanpa rasa malu, tidak sungkan-sungkan
Yang satu melaksanakan transaksinya di bawah meja saja
Yang satu lagi melaksanakan transaksi di bawah meja
dan di atas meja
dan sehabis itu mengunyah mejanya
***
No comments:
Post a Comment