Koin-koin yang berasal dari abad ke-17 itu punya lubang enam di tengahnya, 90 keping dalam satu renteng, dengan inskripsi dalam bahasa Arab (Melayu) “Pangeran Ratou ing Bantam” (Lord King at Bantam). “Ini adalah penemuan koin-koin Jawa yang pertama kalinya di London,” kata ahli-ahli koin dari The British Museum.
Kamis pagi, 10 November 1681, para budak hilir mudik menaikkan barang-barang ke atas kapal London yang dinakhodai Kapten John Danielszn. Barang-barang tersebut adalah hadiah yang akan dipersembahkan kepada Raja Inggris, antara lain berupa 200 karung lada, satu partai intan berlian, burung merak dari emas yang bertaburkan intan baiduri, serta hadiah-hadiah lainnya. Semuanya berjumlah sekitar 12.000 real.
Hari itu, para utusan Banten akan melakukan kunjungan kenegaraan ke Inggris, sebagai utusan resmi dari Sultan Abdul Kahar Aboen Nassar, yang dikenal sebagai Sultan Haji atau Sultan Muda. Rombongan berjumlah 33 orang itu dikepalai Ngabei Naya Wipraya dan Ngabei Jaya Sedana. Seorang budak meninggal dalam perjalanan. Pada 29 April 1682, kapal sampai di Inggris, dan berlabuh di Sungai Thames dekat Kota Erith.
Dua kali para duta Banten diterima oleh Raja Karel II di Istana Windsor, dengan sambutan yang penuh kebesaran, seperti umumnya menyambut tamu-tamu dari negara-negara sahabat lainnya. Oleh Raja Inggris, Ngabei Naya Wipraya dan Ngabei Jaya Sedana diangkat menjadi “Knight” dan dianugerahi gelar kehormatan, Sir Abdul dan Sir Achmet.
Mereka juga mengadakan kunjungan kehormatan pada Hertog York dan putrinya, yang kemudian menjadi Ratu Anna. Selama berkeliling, banyak sekali orang datang menonton. Mereka terdorong rasa ingin tahu karena belum pernah ada duta-duta negara lain yang disambut begitu meriah dan agung. Mungkin karena mereka adalah duta pertama dari wilayah timur yang berkunjung di Inggris, dengan penampilannya yang eksotis.
Pada malam hari 15 Mei 1682, salah seorang juru masak Banten sakit keras, yang akhirnya meninggal dunia. Jenazahnya dimakamkan di St. James Park, yang berhadap-hadapan dengan Hyde Park.
Pada 23 Agustus 1682, utusan Banten pulang melalui Kota Duyns dengan kapal Kemphoorn. Dibawanya pula hadiah-hadiah dan surat dari Raja Karel untuk disampaikan kepada Sultan Banten, dan surat-surat perjanjian kerja sama dengan Kompeni Inggris.
Saat kapal mulai memasuki wilayah Banten pada Januari 1683, mereka melihat bahwa Banten sekarang sudah jauh berbeda dengan Banten yang mereka tinggalkan dulu. Pada akhir 1681, telah timbul perselisihan antara Sultan Haji dan ayahnya, Sultan Ageng Tirtayasa.
Perselisihan berlangsung semakin runcing, yang akhirnya timbul peperangan. Sultan Tua menyerang Istana Surosowan di Banten, tempat kediaman Sultan Muda. Karena semakin terdesak, Sultan Muda akhirnya meminta bantuan VOC. Dengan bantuan pasukan Kompeni yang dipimpin Mayor Isaack St. Martin dan Francois Tack serta pasukan gabungan pribumi, serangan dan kepungan Sultan Tua di Surosowan berhasil dipatahkan. Namun, peperangan belumlah usai. Sultan Tua menyingkir ke tempat kediamannya di Tirtayasa, sambil terus melakukan penyerangan-penyerangan. Perang anak-ayah ini berlangsung sampai 1683. Akhirnya, 14 Maret 1683, Sultan Ageng berhasil ditangkap akibat pengkhianatan anaknya.
Pada awal peperangan, para pedagang-pedagang asing lebih memihak Sultan Tua, karena Sultan Muda lebih suka membina hubungan baik dengan Kompeni. Oleh karena itu, setelah kemenangannya, tanggal 14 April 1682 Sultan Muda mengeluarkan perintah untuk mengusir semua warga Inggris dari wilayah Banten. Demikian juga dengan pedagang-pedagang dari Denmark, Prancis, dan Portugis.
Pada saat para utusan Banten dijamu dengan penuh kehormatan dan diajak berkeliling Kota London, pada waktu yang hampir bersamaan warga Inggris diusir oleh Sultan Muda dari wilayah Banten.
Kapten kapal Kemhoorn akhirnya menyadari situasi Banten saat itu. Kemudian marahlah dia kepada para utusan Banten. Mereka tidak jadi diturunkan di Banten, tetapi di daerah Caringin. Hadiah-hadiah berupa 9 peti berisi senapan, kaca, pisau, pelana untuk naik kuda, 17 tong kecil berisi air saringan, 1 tong isi lentera, serta "Anjing yang sangat kelewat jeleknya" (kemungkinan anjing buldog), yang diberikan oleh Raja Karel II, hanya diserahkan melalui perantaraan Belanda.
Dari sebuah kerajaan mandiri yang menentang Kompeni Belanda, kini Banten telah menjadi boneka dari pemerintahan di Batavia. Sultan Haji bahkan memberikan kuasa monopoli penuh kepada Kompeni untuk seluruh wilayah Kerajaan Banten. Bahkan sultan hampir tidak berani melangkah tanpa meminta pendapat Kompeni terlebih dahulu. Inilah awal dari keruntuhan Banten sebagai kesultanan besar yang mandiri.
Sumber:
1. Pikiran Rakyat, Sabtu, 9 Februari 2008
2. Ahmad Mansyur Suryanegara Api Sejarah Jilid I
3. Puji Harsono, Sastra-Indonesia.com
No comments:
Post a Comment