Pekan terakhir ini isu pemotongan nilai (redenominasi) marak bergulir di berbagai media, sebelum akhirnya dilibas oleh berita penangkapan ustadz Abu Bakar Ba'asyir. Pemotongan nilai ini sesungguhnya adalah hal yang biasa terjadi di berbagai negara termasuk Indonesia dengan tindakan sanering I pada tanggal 25 Agustus 1959 yang dituangkan dalam Lembaran Negara No. 89 dan dan Tindakan Sanering II pada tanggal 13 Desember 1965 dalam Lembaran Negara No. 102 tahun 1965. Negara lain yang masih hangat dengan kebijakan saneringnya adalah Korea Utara. Pemerintah Korea Utara melakukan sanering atau pemotongan nilai mata uang pada Selasa 1 Desember 2009 dimana nilai won lama Korea Utara dianggap 1/100 nilai won baru. Di kala ekonomi stabil pemotongan nilai ini disebut redenominasi sedangkan di kala ekonomi gonjang-ganjing kebijakan pemotongan nilai mata uang disebut dengan sanering.
Mengapa pemerintah perlu melakukan redenominasi? Alasan utamanya adalah efisiensi. Dengan semakin banyaknya angka nol di belakang satuan mata uang kita, maka tentu akan banyak menghabiskan energi dan memory para petugas bank dan komputer mereka. Belum lagi sistem keuangan internasional harus mengakomodasi sederet angka nol itu dalam konversi dengan mata uang negara lain. Dan menghabiskan biaya amat besar untuk mencetak uang baru dengan nominal yang lebih besar untuk menggantikan uang lama yang telah tergerus daya belinya. Alasan kedua adalah meredam inflasi, sebab dari tahun ke tahun nilai Rupiah semakin tidak bernilai atau tergerus daya belinya. Contoh bila tahun 2000 kita bisa mendapatkan 1 Dinar dengan uang Rp. 286.000,- maka saat ini butuh 5 kali lipatnya untuk mendapatkan barang yang sama atau saat ini 1 Dinar Rp. 1.492.660.
Namun kebijakan pemotongan nilai untuk meredam inflasi ini tidak selalu berhasil. Memang pada awalnya inflasi terkendali pasca sanering I 1959, inflasi turun dari 45,75% tahun 1958 menjadi 22,22% pada 1959. Namun pada tahun 1960 inflasi kembali mengalami peningkatan dan pada tahun 1962 masuk level hyperinflasi. Puncaknya pada tahun 1966 inflasi meroket mencapai 635, 26%.
Jadi kebijakan sanering, redenominasi, atau apapun namanya bukanlah solusi untuk mengatasi masalah efisiensi ataupun inflasi. Sebab itu hanya obat sesaat yang akan hilang khasiatnya seketika setelah pengaruhnya hilang, dan penyakitnya akan kembali kambuh dengan tingkat yang lebih parah pada masa mendatang. Solusinya tentu adalah Dinar sebagai mata uang Islam yang secara empiris telah terbukti eksis dan stabil berabad-abad dalam sejarah moneter internasional. Dan seperti pertanyaan Prof.Mundell dalam kuliahnya yang berjudul The International Monetary System in the 21st Century:Could Gold Make a Comeback?Yes...gold will make a comeback dan itu akan diperankan oleh Islamic Gold Dinar dengan standar yang terlah eksis berabad-abad dalam sejarah Islam.
wallahu 'alam
Mengapa pemerintah perlu melakukan redenominasi? Alasan utamanya adalah efisiensi. Dengan semakin banyaknya angka nol di belakang satuan mata uang kita, maka tentu akan banyak menghabiskan energi dan memory para petugas bank dan komputer mereka. Belum lagi sistem keuangan internasional harus mengakomodasi sederet angka nol itu dalam konversi dengan mata uang negara lain. Dan menghabiskan biaya amat besar untuk mencetak uang baru dengan nominal yang lebih besar untuk menggantikan uang lama yang telah tergerus daya belinya. Alasan kedua adalah meredam inflasi, sebab dari tahun ke tahun nilai Rupiah semakin tidak bernilai atau tergerus daya belinya. Contoh bila tahun 2000 kita bisa mendapatkan 1 Dinar dengan uang Rp. 286.000,- maka saat ini butuh 5 kali lipatnya untuk mendapatkan barang yang sama atau saat ini 1 Dinar Rp. 1.492.660.
Namun kebijakan pemotongan nilai untuk meredam inflasi ini tidak selalu berhasil. Memang pada awalnya inflasi terkendali pasca sanering I 1959, inflasi turun dari 45,75% tahun 1958 menjadi 22,22% pada 1959. Namun pada tahun 1960 inflasi kembali mengalami peningkatan dan pada tahun 1962 masuk level hyperinflasi. Puncaknya pada tahun 1966 inflasi meroket mencapai 635, 26%.
Jadi kebijakan sanering, redenominasi, atau apapun namanya bukanlah solusi untuk mengatasi masalah efisiensi ataupun inflasi. Sebab itu hanya obat sesaat yang akan hilang khasiatnya seketika setelah pengaruhnya hilang, dan penyakitnya akan kembali kambuh dengan tingkat yang lebih parah pada masa mendatang. Solusinya tentu adalah Dinar sebagai mata uang Islam yang secara empiris telah terbukti eksis dan stabil berabad-abad dalam sejarah moneter internasional. Dan seperti pertanyaan Prof.Mundell dalam kuliahnya yang berjudul The International Monetary System in the 21st Century:Could Gold Make a Comeback?
wallahu 'alam
No comments:
Post a Comment