www.gata.com

Grafik Pergerakan Harga Dinar dalam Rupiah & Dollar AS


 

Wednesday, April 14, 2010

The End Of Neolib

Dunia kini tengah bermuram durja, paska diterpa gelombang tsunami finansial dahsyat. Para pemimpin dunia diliputi kecemasan. Seluruh Kepala Negara di benua Amerika, Eropa, Asia dan Afrika dilanda keresahan hebat, menyusul terjadinya krisis finansial AS yang dengan cepat bertransformasi menjadi krisis global. Krisis ini adalah tragedi terburuk sejak Great Depression 1929. Setelah kejatuhan pasar saham pada Oktober 1929, AS membutuhkan waktu lebih dari tiga tahun lebih untuk memulihkan perekonomian yang turun sepertiga outputnya dengan 25% tenaga kerja menjadi pengangguran.

Krisis keuangan yang berawal dari krisis subprime mortgages itu telah meruntuhkan sejumlah lembaga keuangan AS. Pemain-pemain utama Wall Street berguguran, termasuk Lehman Brothers dan Washington Mutual, dua bank terbesar di AS. Para investor mulai kehilangan kepercayaan, sehingga harga-harga saham di bursa-bursa utama dunia pun rontok.

Dalam tiga tahun terakhir, setelah pecahnya krisis subprime mortgages pada Juli 2007, pemerintah AS melakukan intervensi paling dramatis di pasar finansial sejak 1930-an. Dalam 2 minggu yang bergolak, pemerintah USA menasionalisasi 2 raksasa mortgage, Fannie Mae dan Freddie Mac, mengambil alih AIG, perusahaan asuransi terbesar di dunia, dan memperluas jaminan dana pemerintah hingga $ 3,4 trilyun di pasar uang antar bank, melarang transaksi short-selling di lebih dari 900 saham perusahaan finansial, dan yang paling dramatis memberikan bail-out (semacam BLBI) $ 700 milyar ke sistem finansial untuk menutup kerugian aset-aset beracun yang terkait dengan mortgage. Hanya dalam waktu 3 minggu pemerintah AS telah menambah utang bruto-nya lebih dari $ 1 trilyun – 2 kali lipat dari biaya perang Irak.

Interkoneksi sistem bisnis global yang saling terkait, membuat 'efek domino' krisis yang berbasis di Amerika Serikat ini, dengan cepat dan mudah menyebar ke berbagai negara di seluruh penjuru dunia. Tak terkecuali Indonesia.

Menurut Direktur Pelaksana IMF Dominique Strauss-Kahn di Washington, seperti dikutip AFP belum lama ini, resesi sekarang dipicu pengeringan aliran modal.

Hal ini menyebabkan sistem perbankan dunia saling enggan mengucurkan dana, sehingga aliran dana perbankan, urat nadi perekonomian global, menjadi macet. Hasil analisis Dana Moneter Internasional (IMF) mengingatkan, krisis perbankan memiliki kekuatan yang lebih besar untuk menyebabkan resesi. Penurunan pertumbuhan setidaknya dua kuartal berturut-turut sudah bisa dikatakan sebagai resesi.

Sederet bank di Eropa juga telah menjadi korban, sehingga pemerintah di Eropa harus turun tangan menolong dan mengatasi masalah perbankan mereka. Pemerintah Belgia, Luksemburg, dan Belanda menstabilkan Fortis Group dengan menyediakan modal 11,2 miliar euro atau sekitar Rp155,8 triliun untuk meningkatkan solvabilitas dan likuiditasnya.

Fortis, bank terbesar kedua di Belanda dan perusahaan swasta terbesar di Belgia, memiliki 85.000 pegawai di seluruh dunia dan beroperasi di 31 negara, termasuk Indonesia. Ketiga pemerintah itu memiliki 49 persen saham Fortis. Fortis akan menjual kepemilikannya di ABN AMRO yang dibelinya setahun sebelumnya kepada pesaingnya, ING.

Pemerintah Jerman dan konsorsium perbankan, juga berupaya menyelamatkan Bank Hypo Real Estate, bank terbesar pemberi kredit kepemilikan rumah di Jerman. Pemerintah Jerman menyiapkan dana 35 miliar euro atau sekitar Rp 486,4 triliun berupa garansi kredit.

Inggris juga tak kalah sibuk. Kementerian Keuangan Inggris, menasionalisasi bank penyedia KPR, Bradford & Bingley, dengan menyuntikkan dana 50 miliar poundsterling atau Rp 864 triliun. Pemerintah juga harus membayar 18 miliar poundsterling untuk memfasilitasi penjualan jaringan cabang Bradford & Bingley kepada Santander, bank Spanyol yang merupakan bank terbesar kedua di Eropa.

Bradford & Bingley merupakan bank Inggris ketiga yang terkena dampak krisis finansial AS setelah Northern Rock dinasionalisasi Februari 2008 dan HBOS yang dilego pemiliknya kepada Lloyds TSB Group.

Intervensi global ini diperkirakan masih akan terus berlanjut mengingat kerugian akibat krisis kredit macet di AS juga terus membesar dengan cepat. Estimasi terakhir oleh IMF pada Oktober 2008, kerugian global akibat krisis ini mencapai $ 1,4 trilyun, naik hampir $ 500 milyar dari estimasi April 2008 yang sebesar $ 945 milyar. Kini di awal 2010 kerugian global tersebut membengkak hingga lebih dari $ 3 trilyun ( sekitar Rp 30.000.000.000.000.000,-)!

Runtuhnya Pasar Uang dan Pasar Modal

Beberapa saat setelah informasi kebangkrutan Lehman Brothers, pasar keuangan dunia mengalami terjun bebas di tingkat terendah. Beberapa bank besar yang collaps dan runtuhnya berbagai bank investasi lainnya di Amerika Serikat segera memicu gelombang kepanikan di berbagai pusat keuangan seluruh dunia. Pasar modal di Amerika Serikat, Eropa dan Asia segera mengalami panic selling yang mengakibatkan jatuhnya indeks harga saham pada setiap pasar modal. Bursa saham di mana-mana terjun bebas ke jurang yang dalam. Pasar modal London mencatat rekor kejatuhan terburuk, dalam sehari yang mencapai penurunan 8%. Sedangkan Jerman dan Prancis masing-masing ditampar dengan kejatuhan pasar modal sebesar 7% dan 9%. Pasar modal emerging market seperti Rusia, Argentina dan Brazil juga mengalami keterpurukan yang sangat buruk yaitu 15%, 11% dan 15%. Sejak awal 2008, bursa saham China anjlok 57%, India 52%, Indonesia 41% (sebelum kegiatannya dihentikan untuk sementara), dan zona Eropa 37%.

Sementara pasar surat utang terpuruk, mata uang negara berkembang melemah dan harga komoditas anjlok, apalagi setelah para spekulator komoditas minyak menilai bahwa resesi ekonomi akan mengurangi konsumsi energi dunia.

Di AS, bursa saham Wall Street terus melorot. Dow Jones sebagai episentrum pasar modal dunia jatuh. Angka indeks Dow Jones menunjukkan angka terburuknya dalam empat tahun terakhir yaitu berada di bawah angka 10.000.

Dalam rangka mengantispasi krisis keuangan tersebut, tujuh bank sentral (termasuk US Federal Reserve, European Central Bank, Bank of England dan Bank of Canada) memangkas suku bunganya 0,5%. Ini merupakan yang pertama kalinya kebijakan suku bunga bank sentral dilakukan secara bersamaan dalam skala yang besar.

Berdasarkan fakta dan realita yang terjadi saat ini, jelas sekali bahwa drama krisis keuangan memasuki tingkat keterpurukan yang amat dalam, dan karena itu dapat dikatakan bahwa krisis finansial Amerika saat ini, jauh lebih parah daripada krisis Asia di tahun 1997-1998 yang lalu. Dampak krisis saat ini demikian terasa mengenaskan keuangan global. Lagi pula, sewaktu krismon Asia, setidaknya ada 'surga aman' atau 'safe heaven' bagi para investor global, yaitu di Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Tetapi kini, semua pasar modal rontok. Semua investor panik.

Karena itu, seluruh pengamat ekonomi dunia sepakat bahwa Guncangan ekonomi akibat badai keuangan yang melanda Amerika merupakan guncangan yang terparah setelah Great Depresion pada tahun 1930. Bahkan IMF menilai guncangan sektor finansial kali ini merupakan yang terparah sejak era 1930-an.

Mata Uang Dunia Berjatuhan

Penurunan sebesar 70% yang dialami indeks komposit Shanghai dari puncaknya pada Oktober 2007, kegagalan pelalangan surat hutang Filipina dan Indonesia akhir-akhir ini, tekanan yang memurukkan mata uang Asia yang bervariasi dari rupiah Indonesia, won Korea, baht Thailand, dong Vietnam dan rupee India hanyalah membuktikan tentang hancurnya "teori keterpisahan" (decoupling theory). Berita tentang penolakan bantuan dana (bailout) oleh kongres AS saja telah membuat pasar-pasar saham Asia merosot, dengan Nikkei 225 Jepang turun lebih dari 4 persen. Ketika bank-bank besar AS beruntuhan, dapatkah bank-bank Asia bertahan? Ataukah mereka akan menyusulnya?

Pada 24 September 2008, para nasabah yang cemas mengantri di luar East Asia Bank, bank ketiga terbesar di Hongkong dengan aset $51 milyar, untuk menarik simpanan mereka. Kepanikan tersebut dipicu oleh desas-desus yang tersebar via sms bahwa Bank tersebut dalam kesulitan. Para nasabah yang mengantri mengatakan bahwa setelah kejatuhan Lehman Brothers mereka tidak lagi mempercayai institusi keuangan mana pun.

Standard & Poor’s dan Moody’s keduanya menurunkan penilaian kredit terhadap Bank of East Asia menjadi negatif, dari yang tadinya stabil, setelah bank tersebut terpaksa menyatakan ulang pendapatannya dalam paruh pertama tahun 2008 dan mengumumkan penurunan profit tengah-awal sebesar $16,8 juta. Bank tersebut menyalahkan kerugian tersebut kepada manipulasi pedagang, bukannya permasalahan kredit global. [1]

Di India dilaporkan bahwa nasabah mulai menarik uang mereka dari bank swasta terbesar di negeri itu, ICICI Bank Ltd mendorong Bank Cadangan India untuk meyakinkan publik tentang kelayakan cadangan kas. Asia sangat cemas, dan itu beralasan. Kini terdapat lebih banyak uang Asia yang diinvestasikan di AS dan ekonomi Barat lainnya dibandingkan masa sebelumnya dalam sejarah. Sebanyak 30% saham Asia dimiliki asing dan hubungan melalui surat hutang, pinjaman dan pasar-pasar derivat, meskipun lebih kecil, namun juga signifikan. Dan meskipun Asia mungkin tidak secara langsung terkena krisis sub-prime mortgage, dampak tak langsungnya terhadap ekonomi Asia bisa jadi signifikan. Dalam delapan bulan pertama tahun ini saja sudah terdapat arus keluar modal dari Asia mencapai $38 milyar.

Bank Pembangunan Asia (ADB) - yang didorong keras untuk menghapuskan pengendalian modal (capital controls) sehingga membuat ekonomi Asia begitu berbahaya karena terbuka dan rentan terhadap pergerakan masif arus kapital selama krisis finansial Asia tahun 1998 - dalam laporan Pandangan Pembangunan Asia (Asian Development Outlook) yang biasanya positif, memperingatkan bahwa, akibat ketergantungan Asia yang begitu besar terhadap AS, Eropa dan Jepang (G3) bagi pasar ekspor utamanya, pertumbuhan yang menurun dalam G3 akan meluas ke dalam ekonomi Asia. Menurut pimpinan pakar ekonomi bank tersebut: "Keterpisahan adalah mitos. Studi kami menunjukkan bahwa wilayah ini masih bergantung pada negeri-negeri industri untuk membahanbakari pertumbuhan mereka. Bila pelambatan global (global slowdown) berlanjut melampaui 2009, pukulannya terhadap wilayah ini akan sangat parah."

Tentang lesunya prospek perdagangan di dalam Asia, menurut laporan tersebut, ini juga dapat memperparah keadaan, karena permintaan akhir bagi ekspor wilayah tersebut berkurang. Pertumbuhan GDP agregrat di Asia Tenggara kini diperkirakan menurun menjadi 5,4% pada 2008, secara signifikan lebih lamban daripada pertumbuhan 6,5% yang dicapai tahun 2007 (ADB pada 2007 memperkirakan "pertumbuhan pesat pada 2007-2008). Proyeksi pertumbuhan di Filipina, Singapura dan Vietnam secara signifikan direvisi lebih rendah. Inflasi diramalkan mencapai yang tertinggi dalam dekade, dan tingkatnya diperkirakan secara khusus melambung cepat di negeri-negeri seperti Vietnam.

Laporan tersebut juga menilai bahwa resiko krisis Asia kedua telah "berkurang, tapi tidak lenyap". Bila krisis sub-prime di AS semakin parah, Asia akan menderita efek-efek finansial yang akan lebih serius, termasuk berbaliknya arus masuk modal secara mendadak. Bila ekonomi Barat menderita flu, bukan saja Asia akan bersin, tapi ia juga akan terkena demam.

Krisis Yang Terus Berulang

Dalam sejarah ekonomi, ternyata krisis sejenis ini pernah melanda di hampir semua negara yang menerapkan sistem kapitalisme. Krisis demi krisis ekonomi terus berulang, sejak tahun 1923, 1930, 1940, 1970, 1980, 1990, 1998 – 2001, dan 2007 hingga saat ini krisis semakin mengkhawatirkan akibat tragedi finansial di Amerika Serikat.

Roy Davies dan Glyn Davies, 1996 dalam buku The History of Money From Ancient time of Present Day, menguraikan sejarah kronologi secara komprehensif. Menurut mereka, sepanjang abad 20 telah terjadi lebih 20 kali krisis besar yang melanda banyak negara. Fakta ini menunjukkan bahwa secara rata-rata, setiap 5 tahun terjadi krisis keuangan hebat yang mengakibatkan penderitaan bagi ratusan juta umat manusia.

Pada tahun 1907 krisis perbankan Internasional dimulai di New York, setelah beberapa dekade sebelumnya yakni mulai tahun 1860-1921 terjadi peningkatan hebat jumlah bank di Amerika s/d 19 kali lipat. Selanjutnya, tahun 1920 terjadi depresi ekonomi di Jepang. Kemudian pada tahun 1922 – 1923 German mengalami krisis dengan hyper inflasi yang tinggi. Karena takut mata uang menurun nilainya, gaji dibayar sampai dua kali dalam sehari. Selanjutnya, pada tahun 1927 krisis keuangan melanda Jepang (37 Bank tutup); akibat krisis yang terjadi pada bank-bank Taiwan.

Pada tahun 1929–30 The Great Crash (di pasar modal New York) & Great Depression (Kegagalan Perbankan); di US, hingga net national product-nya terpangkas lebih dari setengahnya. Selanjutnya, pada tahun 1931 Austria mengalami krisis perbankan, akibatnya kejatuhan perbankan di German, yang kemudian mengakibatkan berfluktuasinya mata uang internasional. Hal ini membuat Inggris meninggalkan standard emas. Kemudian1944 – 1966 Perancis mengalami hyper inflasi akibat dari kebijakan yang mulai meliberalkan perekonomiannya. Berikutnya, pada tahun 1944 – 1946 Hungaria mengalami hyper inflasi dan krisis moneter. Ini merupakan krisis terburuk Eropa. Note issues Hungaria meningkat dari 12.000.000.000 (11 digits) hingga 27 digits.

Pada tahun 1945–1948 Jerman mengalami hyper inflasi akibat perang dunia kedua. Selanjutnya tahun 1945–1955 Krisis Perbankan di Nigeria akibat pertumbuhan bank yang tidak teregulasi dengan baik pada tahun 1945. Pada saat yang sama, Perancis mengalami hyperinflasi sejak tahun 1944 sampai 1966. Pada tahun (1950-1972) ekonomi dunia terasa lebih stabil sementara, karena pada periode ini tidak terjadi krisis untuk masa tertentu. Hal ini disebabkan karena Bretton Woods Agreements, yang mengeluarkan regulasi di sektor moneter relatif lebih ketat (Fixed Exchange Rate Regime). Disamping itu IMF memainkan perannya dalam mengatasi anomali-anomali keuangan di dunia. Jadi regulasi khususnya di perbankan dan umumnya di sektor keuangan, serta penerapan rezim nilai tukar yang stabil membuat sektor keuangan dunia (untuk sementara) “tenang”.

Namun ketika tahun 1971 Kesepakatan Breton Woods runtuh (collapsed). Pada hakikatnya perjanjian ini runtuh akibat sistem dengan mekanisme bunganya tak dapat dibendung untuk tetap mempertahankan rezim nilai tukar yang fixed exchange rate. Selanjutnya pada tahun 1971-1973 terjadi kesepakatan Smithsonian (di mana saat itu nilai 1 Ons emas = 38 USD). Pada fase ini dicoba untuk menenangkan kembali sektor keuangan dengan perjanjian baru. Namun hanya bertahan 2-3 tahun saja.

Pada tahun 1973 Amerika meninggalkan standar emas. Akibat hukum “uang buruk (foreign exchange) menggantikan uang bagus (dollar yang di-back-up dengan emas)-(Gresham Law)”. Pada tahun 1973 dan sesudahnya mengglobalnya aktifitas spekulasi sebagai dinamika baru di pasar moneter konvensional akibat penerapan floating exchange rate system. Periode Spekulasi; di pasar modal, uang, obligasi dan derivative. Maka tak aneh jika pada tahun 1973 – 1974 krisis perbankan kedua di Inggris; akibat Bank of England meningkatkan kompetisi pada supply of credit.

Pada tahun 1974 Krisis pada Euro dollar Market; akibat West German Bankhaus ID Herstatt gagal mengantisipasi international crisis. Selanjutnya tahun 1978-80 Deep recession di negara-negara industri akibat boikot minyak oleh OPEC, yang kemudian membuat melambung tingkat suku bunga negara-negara industri.

Selanjutnya sejarah mencatat bahwa pada tahun 1980 krisis dunia ketiga; banyaknya hutang dari negara dunia ketiga disebabkan oleh oil booming pada th 1974, tapi ketika negara maju menaikkan tingkat suku bunga untuk menekan inflasi, hutang negara ketiga meningkat melebihi kemampuan bayarnya. Pada tahun 1980 itulah terjadi krisis hutang di Polandia; akibat terpengaruh dampak negatif dari krisis hutang dunia ketiga. Banyak bank di Eropa Barat yang menarik dananya dari bank di Eropa Timur.

Pada saat yang hampir bersamaan yakni di tahun 1982 terjadi krisis hutang di Mexico; disebabkan outflow kapital yang massive ke US, kemudian di-treatments dengan hutang dari USA, IMF, BIS. Krisis ini juga menarik Argentina, Brazil dan Venezuela untuk masuk dalam lingkaran krisis.

Perkembangan berikutnya, pada tahun 1987 The Great Crash (Stock Exchange), 16 Oct 1987 di pasar modal USA & UK. Mengakibatkan otoritas moneter dunia meningkatkan money supply. Selanjutnya pada tahun 1994 terjadi krisis keuangan di Mexico; kembali akibat kebijakan finansial yang tidak tepat.

Pada tahun 1997-2002 krisis keuangan melanda Asia Tenggara; krisis yang dimulai di Thailand, Malaysia kemudian Indonesia, akibat kebijakan hutang yang tidak transparan. Krisis Keuangan di Korea; memiliki sebab yang sama dengan Asia Tengah.

Kemudian, pada tahun 1998 terjadi krisis keuangan di Rusia; dengan jatuhnya nilai Rubel Rusia (akibat spekulasi) Selanjutnya krisis keuangan melanda Brazil di tahun 1998. pad saat yang hampir bersamaan krisis keuangan melanda Argentina di tahun 1999. Terakhir, pada tahun 2007-hingga saat ini, krisis keuangan melanda Amerika Serikat.

Dari data dan fakta historis tersebut terlihat bahwa dunia tidak pernah sepi dari krisis yang sangat membayakan kehidupan ekonomi umat manusia di muka bumi ini.

Akar Permasalahan

Apakah akar persoalan krisis dan resesi yang menimpa berbagai belahan dunia tersebut? Dalam menjawab pertanyaan tersebut, cukup banyak para pengamat dan ekonom yang berkomentar dan memberikan analisis dari berbagai sudut pandang.

Dalam menganalisa penyebab utama timbulnya krisis moneter tersebut, banyak para pakar ekonomi berkesimpulan bahwa kerapuhan fundamental ekonomi (fundamental economic fragility) adalah merupakan penyebab utama munculnya krisis ekonomi. Hal ini seperti disebutkan oleh Michael Camdessus (1997), Direktur International Monetary Fund (IMF) dalam kata-kata sambutannya pada Growth-Oriented Adjustment Programmes (kurang lebih) sebagai berikut: “Ekonomi yang mengalami inflasi yang tidak terkawal, defisit neraca pembayaran yang besar, pembatasan perdagangan yang berkelanjutan, kadar pertukaran mata uang yang tidak seimbang, tingkat bunga yang tidak realistik, beban hutang luar negeri yang membengkak dan pengaliran modal yang berlaku berulang kali, telah menyebabkan kesulitan ekonomi, yang akhirnya akan memerangkapkan ekonomi negara ke dalam krisis ekonomi”.

Ini dengan jelas menunjukkan bahwa defisit neraca pembayaran (deficit balance of payment), beban hutang luar negeri (foreign debt-burden) yang membengkak–terutama sekali hutang jangka pendek, investasi yang tidak efisien (inefficient investment), dan banyak indikator ekonomi lainnya telah berperan aktif dalam mengundang munculnya krisis ekonomi.

Sementara itu, menurut para pakar ekonomi Islam, penyebab utama krisis adalah kepincangan sektor moneter (keuangan) dan sektor riel. Sektor keuangan berkembang cepat melepaskan dan meninggalkan jauh sektor riel. Dimana dalam sistem ekonomi kapitalisme neo liberal, tidak mengaitkan sama sekali antara sektor keuangan dengan sektor riel.

Tercerabutnya sektor moneter dari sektor riel terlihat dengan nyata dalam bisnis transaksi maya (virtual transaction) melalui transaksi derivatif yang penuh spekulasi. Transaksi maya mencapai lebih dari 95 persen dari seluruh transaksi dunia. Sementara transaksi di sektor riel berupa perdagngan barang dan jasa hanya sekitar 5 (lima) persen saja.

Menurut analisis lain, perbandingan tersebut semakin tajam, tidak lagi 95% : 5%, melainkan 99% : 1%. Di tahun 2007 saja, disebutkan bahwa volume transaksi yang terjadi di pasar uang (currency speculation and derivative market) dunia berjumlah US$ 1,5 trillion hanya dalam sehari, sedangkan volume transaksi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya US$ 6 trillion setiap tahunnya (Rasio 500 : 6 ), Jadi sekitar 1 (satu)%. Celakanya lagi, hanya 45 persen dari transaksi di pasar, yang spot, selebihnya adalah forward, futures, dan options.

Sebagaimana disebut di atas, perkembangan dan pertumbuhan finansial di dunia saat ini, sangat tak seimbang dengan pertumbuhan sektor riel. Realitas ketidakseimbangan arus moneter dan arus barang/jasa tersebut, mencemaskan dan mengancam ekonomi berbagai negara.

Pakar manajamen dunia, Peter Drucker, menyebut gejala ketidakseimbangan antara arus moneter dan arus barang/jasa sebagai adanya decoupling, yakni fenomena keterputusan antara maraknya arus uang (moneter) dengan arus barang dan jasa. Fenomena ketidakseimbangan itu dipicu oleh maraknya bisnis spekulasi (terutama di dunia pasar modal, pasar valas dan properti), sehingga potret ekonomi dunia seperti balon (bubble economy). [2]

Dalam sistem ekonomi Islam, jumlah uang yang beredar bukanlah variabel yang dapat ditentukan begitu saja oleh pemerintah sebagai variabel eksogen. Jumlah uang yang beredar ditentukan sebagai variabel endogen, yaitu ditentukan oleh banyaknya permintaan uang di sektor riel, atau dengan kata lain, dalam perekonomian, jumlah uang yang beredar sama banyaknya dengan nilai barang dan jasa. Jadi, sektor finansial mengikuti pertumbuhan sektor riel. Inilah perbedaan konsep ekonomi Islam dengan ekonomi kapitalis. Sistem ekonomi kapitalisme, jelas memisahkan antara sektor finansial dan sektor riel. Akibat pemisahan itu, ekonomi dunia rawan krisis, khususnya negara–negara berkembang. Sebab, pelaku ekonomi tidak lagi menggunakan uang untuk kepentingan sektor riel, tetapi untuk kepentingan spekulasi semata. Spekulasi inilah yang dapat menggoncang sendi-sendi ekonomi negara, khususnya negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Akibat spekulasi itu, jumlah uang yang beredar sangat tidak seimbang dengan jumlah barang di sektor riel.

Spekulasi mata uang yang mengganggu ekonomi dunia, umumnya dilakukan di pasar-pasar uang. Pasar uang di dunia ini saat ini, dikuasai oleh enam pusat keuangan dunia (London, New York, Chicago, Tokyo, Hongkong dan Singapura). Nilai mata uang negara lain, bisa saja tiba-tiba menguat atau sebaliknya. Di pasar uang tersebut, peran spekulan sangat signifikan untuk menggoncang ekonomi suatu negara. Inggris, sebagai negara yang kuat ekonominya, ternyata pernah sempoyongan akibat ulah spekulan di pasar uang.

Robin Hahnel dalam artikelnya Capitalist Globalism In Crisis: Understanding the Global Economic Crisis (2000), mengatakan bahwa globalisasi - khususnya dalam financial market, hanya membuat pemegang asset semakin memperbesar jumlah kekayaannya tanpa melakukan apa-apa. Mereka hanya memanfaatkan fasilitas-fasilitas yang terdapat dalam pasar uang dengan kegiatan spekulasi untuk menumpuk kekayaan mereka tanpa kegiatan produksi yang riel. Dapat dikatakan uang tertarik pada segelintir pelaku ekonomi meninggalkan lubang yang menganga pada sebagian besar spot ekonomi.

“They do not work, they do not produce, they trade money for stocks, stocks for bonds, dollars for yen, etc. They speculate that some way to hold their wealth will be safer and more remunerative than some other way. Broadly speaking, the global credit system has been changed over the past two decades in ways that pleased the speculators.” (Hahnel, 2000).

Hahnel juga menyoroti bagaimana sistem kredit atau sistem hutang sudah memerangkap perekonomian dunia sedemikian dalam. Apalagi mekanisme bunga (interest rate) juga menggurita bersama sistem hutang ini. Yang kemudian membuat sistem perekonomian harus menderita ketidakseimbangan kronis. Sistem hutang ini menurut Hahnel hanya melayani kepentingan spekulator, kepentingan segelintir pelaku ekonomi. Namun segelintir pelaku ekonomi tersebut menguasai sebagian besar asset yang ada di dunia. Jika kita kaji pemikiran Hahner ini lebih mendalam akan kita lihat dengan sangat jelas bahwa perekonomian akan berakhir dengan kehancuran akibat sistem yang dianutnya, yakni kapitalisme ribawi

Penasihat keuangan Barat, bernama Dan Taylor, mempunyai keyakinan bahwa sistem keuangan dan perbankan Islam mempunyai keunggulan sistem yang lebih baik dibanding dengan sistem keuangan Barat yang berasaskan riba. Krisis keuangan yang sedang dihadapi oleh negara-negara Barat seperti USA dan UK memberikan kekuatan secara langsung dan tidak langsung kepada sistem finansial Islam yang berdasarkan Syariah. Sistem keuangan Barat sudah runtuh… “Islamic finance and banking will win”, begitulah ujar penasihat keuangan Barat, BDO Stoy Hayward: “financial turmoil puts Islamic products in strong position.”

Menurut para penasihat keuangan Bank-bank Islam, ”One of the few financial institutions who still have significant sums of money available to finance individuals and corporates, unlike their western banking counterparts, who will only continue to constrict their lending policies in light of the current economic crisis.”

Dan Taylor, Pimpinan Bank BDO Stoy Hayward, berkata, “As the risk profile of Islamic Banks is generally lower than conventional western banks, this presents a more solid option for both retail and institutional investors and suggests that dealings with Islamic financial institutions will grow dramatically as people switch to more secure products in this environment.”

“Further growth of Islamic banking in the UK will also be attributed to their more conservative approach to financing, as the risks are shared with the investor, much like the private equity model. In addition, it is more difficult for Islamic financial institutions to use leverage; therefore their risk profile is naturally lower.” (Ahmad Sanusi Husein, IIUM, 2008)

Di kalangan para spekulan, mereka meraup keuntungan dari selisih harga beli dan harga jual. Makin besar selisihnya, makin menarik bagi para spekulan untuk bermain. Dengan demikian, nilai suatu mata uang dapat berfluktuasi secara liar. [3] Solusinya adalah mengatur sektor finansial agar menjauh dari segala transaksi yang mengandung spekulasi, termasuk transaksi-transaksi maya di pasar uang.

Gejala decoupling, sebagaimana digambarkan di atas, disebabkan, karena fungsi uang bukan lagi sekedar menjadi alat tukar dan penyimpanan kekayaan, tetapi telah menjadi komoditas yang diperjualbelikan dan sangat menguntungkan bagi mereka yang memperoleh gain. Meskipun bisa pula mengalami kerugian milyaran dollar AS.

Fakta mencatat, perekonomian saat ini digelembungkan oleh transaksi maya yang dilakukan oleh segelintir orang di beberapa kota dunia, seperti London (27 persen), Tokyo-Hong Kong-Singapura (25 persen), dan Chicago-New York (17 persen). Kekuatan pasar uang ini sangat besar dibandingkan kekuatan perekonomian dunia secara keseluruhan. Perekonomian global praktis ditentukan oleh perilaku lima negara tersebut.

Solusi Alternatif

Dari paparan di atas, terlihat dengan nyata, bahwa sistem ekonomi kapitalisme yang menganut paham laize faire dan berbasis bunga kembali tergugat. Faham kapitalisme neoliberal tidak bisa dipertahankan. Demikian juga statement Fukuyama yang menyatakan kemenangan kapitalisme liberal sebagai representasi akhir zaman "The end of history" (Magazine National Interest, 1989), menjadi kehilangan keabsahannya. Karena sistem ekonomi kapitalisme telah gagal menciptakan tata ekonomi dunia yang berkeadilan dan stabil.

Sebenarnya, sejak awal tahun 1940-an, para ahli ekonomi Barat, telah menyadari indikasi kegagalan tersebut. Adalah Joseph Schumpeter dengan bukunya Capitalism, Socialism and Democracy menyebutkan bahwa teori ekonomi modern telah memasuki masa-masa krisis. Pandangan yang sama dikemukakan juga oleh ekonom generasi 1950-an dan 60-an, seperti Daniel Bell dan Irving Kristol dalam buku The Crisis in Economic Theory. Demikian pula Gunnar Myrdal dalam buku Institusional Economics, Journal of Economic Issues, juga Hla Mynt, dalam buku Economic Theory and the Underdeveloped Countries, serta Mahbubul Haq dalam buku The Poverty Curtain : Choices for the Third World.

Pandangan miring kepada kapitalisme tersebut semakin keras pada era 1990-an dimana berbagai ahli ekonomi Barat generasi dekade ini dan para ahli ekonomi Islam pada generasi yang sama menyatakan secara tegas bahwa teori ekonomi telah mati, di antaranya yang paling menonjol adalah Paul Ormerod. Dia menulis buku (1994) berjudul The Death of Economics. Dalam buku ini ia menyatakan bahwa dunia saat ini dilanda suatu kecemasan yang maha dahsyat dengan kurang dapat beroperasinya sistem ekonomi yang memiliki ketahanan untuk menghadapi setiap gejolak ekonomi maupun moneter. Indikasi yang dapat disebutkan di sini adalah pada akhir abad 19 dunia mengalami krisis dengan jumlah tingkat pengangguran yang tidak hanya terjadi di belahan dunia negara-negara berkembang, akan tetapi juga melanda negara-negara maju.

Selanjutnya Omerrod menandaskan bahwa ahli ekonomi terjebak pada ideologi kapitalisme yang mekanistik yang ternyata tidak memiliki kekuatan dalam membantu dan mengatasi resesi ekonomi yang melanda dunia. Mekanisme pasar yang merupakan bentuk dari sistem yang diterapkan kapitalisme cenderung pada pemusatan kekayaan pada kelompok orang tertentu.

Karena itu, kini telah mencul gelombang kesadaran untuk menemukan dan menggunakan sistem ekonomi "baru" yang membawa implikasi keadilan, pemerataan, kemakmuran secara komprehensif serta pencapaian tujuan-tujuan efisiensi. Konsep ekonomi baru tersebut dipandang sangat mendesak diwujudkan. Konstruksi ekonomi tersebut dilakukan dengan analisis objektif terhadap keseluruhan format ekonomi kontemporer dengan pandangan yang jernih dan pendekatan yang segar dan komprehensif.

Di bawah dominasi sistem kapitalisme, kerusakan ekonomi terjadi di mana-mana. Dalam beberapa dekade terakhir ini, terbukti perekonomian dunia terus mengalami suatu fase yang sangat tidak stabil dan masa depan yang sama sekali tidak menentu. Setelah mengalami masa sulit karena tingginya tingkat inflasi, ekonomi dunia kembali mengalami resesi yang mendalam, tingkat pengangguran yang parah, ditambah tingginya tingkat suku bunga riil serta fluktuasi nilai tukar yang tidak sehat. Dampaknya tentu saja kehancuran sendi-sendi perekonomian negara-negara maju maupun berkembang, proyek-proyek raksasa terpaksa mengalami penjadwalan ulang, ratusan pengusaha gulung tikar, jutaan tenaga kerja terancam PHK, harga-harga barang dan jasa termasuk barang-barang kebutuhan pokok mengalami kenaikan tak terkendali.

Krisis tersebut semakin memprihatinkan karena adanya kemiskinan ekstrim di banyak negara, berbagai bentuk ketidakadilan sosio-ekonomi, besarnya defisit neraca pembayaran, dan ketidakmampuan beberapa negara berkembang untuk membayar kembali hutang mereka. Henry Kissinger mengatakan, kebanyakan ekonom sepakat dengan pandangan yang mengatakan bahwa "Tidak satupun diantara teori atau konsep ekonomi sebelum ini yang tampak mampu menjelaskan krisis ekonomi dunia tersebut" (News Week, "Saving the World Economy").

Melihat fenomena-fenomena yang tragis tersebut, maka tidak mengherankan apabila sejumlah pakar ekonomi terkemuka, mengkritik dan mencemaskan kemampuan ekonomi kapitalisme dalam mewujudkan kemakmuran ekonomi di muka bumi ini. Bahkan cukup banyak klaim yang menyebutkan bahwa kapitalisme telah gagal sebagai suatu sistem dan model ekonomi.

Kehadiran konsep ekonomi baru tersebut, bukanlah gagasan awam, tetapi mendapat dukungan dari ekonom terkemuka di dunia yang mendapat hadiah Nobel 1999, yaitu Joseph E. Stiglitz. Dia dan Bruce Greenwald menulis buku "Toward a New Paradigm in Monetary Economics". Mereka menawarkan paradigma baru dalam ekonomi moneter. Dalam buku tersebut mereka mengkritik teori ekonomi kapitalis (konvensional) dengan mengemukakan pendekatan moneter baru yang entah disadari atau tidak, merupakan sudut pandang ekonomi Islam di bidang moneter, seperti peranan uang, bunga, dan kredit perbankan (kaitan sektor riil dan moneter).

Rekonstruksi Ekonomi Syariah Sebuah Keharusan

Oleh karena kapitalisme telah gagal mewujudkan kesejahteraan yang berkeadilan, maka menjadi keniscayaan bagi umat manusia zaman sekarang untuk mendekonstruksi sistem ekonomi kapitalisme dan merekonstruksi ekonomi berkeadilan dan berketuhanan yang dikenal dengan ekonomi syariah. Dekonstruksi artinya meruntuhkan paradigma, sistem dan konstruksi materialisme kapitalisme, lalu menggantinya dengan sistem dan paradigma syari'ah.

Capaian-capaian positif di bidang sains dan teknologi tetap ada yang bisa kita manfaatkan, Artinya puing-puing keruntuhan tersebut ada yang bisa digunakan, seperti alat-alat analisis matematis dan ekonometrik, dsb. Sedangkan nilai-nilai negatif, paradigma konsep dan teori yang destrutktif, filosofi materalisme, pengabaian moral dan banyak lagi konsep kapitalisme di bidang moneter dan ekonomi pembangunan yang harus didekonstruksi. Karena tanpa upaya dekonstruksi, krisis demi krisis pasti terus terjadi, ketidakadilan ekonomi di dunia akan semakin merajalela, kesenjangan ekonomi makin menganga, kezaliman melalui sistem riba dan mata uang kertas semakin hegemonis.

Sekarang tergantung kepada para akademisi dan praktisi ekonomi syari'ah yang ditantang untuk mampu menyuguhkan konstruksi ekonomi syariah yang benar-benar adil, maslahah, dan dapat mewujudkan kesejahteraan umat manusia, tanpa menimbulkan krisis finansial, (stabilitas ekonomi), tanpa penindasan, kezaliman dan penghisapan, baik antar individu dan perusahaan, negara terhadap perusahaan, maupun negara kaya terhadap negara miskin.

Wallahu a’lam bish-shawwab.

Syamsul Balda, Direktur Eksekutif Smart Leadership Institute

Notes:

  1. “Anxious Depositors Withdraw Cash from Asian Banks”, oleh Keith Bradsher dan Heather Timmons, New York Times, September 25, 2008
  2. Sekedar ilustrasi dari fenomena decoupling tersebut, misalnya sebelum krisis moneter Asia, dalam satu hari, uang yang berputar dalam transaksi maya di pasar modal dan pasar uang dunia, diperkirakan rata-rata beredar sekitar 2-3 triliun dolar AS atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS. Padahal arus perdagangan barang secara international dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Didin S Damanhuri, Problem Utang dalam Hegemoni Ekonomi, 2008)
  3. Berdasarkan realitas itulah, maka Konferensi Tahunan Association of Muslim Scientist di Chicago, Oktober 1998 yang membahas masalah krisis ekonomi Asia dalam perspektif ekonomi Islam, menyepakati bahwa akar persoalan krisis adalah perkembangan sektor finansial yang berjalan sendiri, tanpa terkait dengan sektor riel.


No comments: