Hidayatullah.com - Dollar atau Shekel, Innaa lillaahi Wa Innaa Ilaihi Raji’uun...
Sebuah ironi yang selalu menimbulkan tanda tanya sejak Tim Sahabat Al-Aqsha (SA2Gaza) tiba di Ibukota Perjuangan Palestina ini ialah mata uang Israel yang menguasai seluruh transaksi ekonomi di Jalur Gaza. Kegagahan Hamas dan Brigade Al-Qassam di medang perang dan diplomasi, belum mampu diwujudkan dalam kegagahannya di bidang moneter.
Mata uang shekel merupakan mata uang utama yang berlaku di Jalur Gaza. Satu shekel sama dengan 2500 rupiah Indonesia. Mata uang Israel itu bisa didapat saat mengambil uang di ATM Bank of Palestine. Pilihannya: dollar Amerika, atau shekel Israel. Innaa lillaahi wa innaa ilaihi raji’uun...
“Ya, memang kami akui, kami masih dijajah dengan uang shekel ini,” kata Ya’qub Sulaiman, Ketua Yayasan Salam, sebuah lembaga kemanusiaan yang cukup disegani di Jabaliya, Gaza Utara.
Masih digunakannya shekel sebagai mata uang di Gaza ini menunjukkan, bahwa bagian-bagian lain dari kekuatan ekomi Gaza pun masih dicengkeram oleh penjajah. Misalnya bahan bakar, kebutuhan pokok, bahan bangunan, dan lain-lain.
Dari hasil pegamatan di pasar pusat kota Gaza, barang-barang kebutuhan hidup warga Gaza yang berjumlah 1,7 juta jiwa dipenuhi lewat empat jalur perdagangan. Dari hasil produksi rakyat Gaza sendiri, dari produksi rakyat Palestina di Tepi Barat masuk lewat perbatasan yang dikuasai Israel, dari produksi rakyat dan pemerintah Israel masuk lewat perbatasan-perbatasan dengan kawasan Palestina yang dikuasai Israel, dan yang terakhir dari produksi negara-negara lain terutama Mesir yang masuk baik lewat jalur resmi di pintu perbatasan Rafah, maupun lewat ratusan terowongan rahasia yang tersambung dari rumah-rumah warga Mesir ke rumah-rumah warga Gaza.
Saat Tim SA2Gaza hendak berkunjung ke TK Bintang Al-Quran, sehari sebelumnya, kami berbelanja makanan kecil untuk anak-anak kita itu. Batangan cokelat, biskuit, tongkat keju, permen, noughut, terpajang cantik di toko-toko grosir di pasar pusat kota Gaza.
Abu Mahmud, pedagang yang kami datangi menjelaskan mana barang yang diproduksi warga Gaza, mana yang datang dari Tepi Barat, mana yang bikinan Israel, Turki, Mesir dan lain sebagainya. Tentu saja sebisa mungkin kami memilih makanan bikinan Gaza dan Tepi Barat, paling banter Turki. Israel, no way!
Tapi di toko lain, saat mencari susu kotak, kami dibuat terbelalak saat melihat makanan dan minuman hasil olahan susu (dairy products) seperti susu kotak atau botol, keju, yoghurt, dan lain-lain, sebagian besar merupakan produksi Israel.
Padahal Haji Syu’aib, sebut saja namanya begitu, pemilik toko itu, seorang pendukung Hamas tulen. Kenapa beli produk-produk Israel?
Awalnya Haji Syu’aib tak faham, bahwa pertanyaan yang datangnya dari orang Indonesia itu adalah pertanyaan yang sangat kritis.
“Laaaaah, kita di Indonesia kampanye boikot produk Israel dan Amerika yang mendukung Israel, eeeeeh.... mereka di sini malah berjualan barang Israel...” kata Amirrul Iman, Direktur Operasional Sahabat Al-Aqsha.
Lama-lama Haji Syu’aib memahami, dirinya sedang dikritisi. Lalu buru-buru menjelaskan bahwa tidak semua barang di kedua tokonya yang tempat berdekatan itu berasal dari Israel.
“Ini nih yang ini bikinan Mesir, yang ini bikinan Ramallah, yang ini dari Turki masuk lewat terowongan.. ini juga lewat terowongan... Pemerintah Gaza (Hamas) nggak melarang kami beli barang-barang Israel kok....” katanya memelas.
Setelah diberi penjelasan lebih banyak, barulah kami faham, bahwa memang masih banyak keperluan dasar sehari-hari yang dibanjiri barang bikinan Israel.
Dari manapun asal barangnya, warga Gaza masih dipaksa melakukan transaksi dengan uang shekel.
“Ini seperti seorang suami sadis, yang memukuli habis-habisan istrinya di siang hari sampai babak belur, dan lalu memaksa istrinya melayani nafsu seksnya di malam hari,” kata Amirrul.
Israel tak henti-hentinya menggempur Gaza secara militer, tapi pada saat yang sama memerlukan Gaza dengan pasar 1,7 juta jiwa untuk membeli barang-barang hasil produksinya.
“Mestinya Gaza bisa membalas mengembargo barang-barang Israel ya? Kenapa itu nggak mereka lakukan ya?” tanya Amirrul.*
Jadi, penguasaan ekonomi Gaza sebagian besar masih di tangan Israel. Sampai kapan?
Pertama, sampai pemerintah Hamas mampu mengambil langkah ekonomi yang radikal. Kedua, sampai warga Muslim dunia tidak hanya memberikan bantuan kemanusiaan, tapi juga menerobos kepungan Israel dengan melakukan perdagangan.
Ayo kita lihat, produk apa dari Gaza yang bisa diekspor ke Indonesia? Mahal-mahal sedikit nggak apa-apalah. Sebaliknya, produk apa dari Indonesia yang bisa diekspor ke Gaza dengan harga murah? Kita sekarang bukan cuma perlu Jihad Ekonomi, tapi juga perlu Ekonomi Jihad! Bismillaahi Allahu Akbar!!.*
No comments:
Post a Comment