Hyperinflasi adalah sebuah kondisi ekonomi dimana harga-harga barang dan jasa naik sedemikian cepat secara liar. Hal ini diikuti dengan jatuhnya nilai mata uang. Philip Cagan lebih detail menyebut hyperinflasi adalah suatu kondisi dimana tingkat inflasi meningkat sebesar 50% setiap bulan (Phillip Cagan, The Monetary Dynamics of Hyperinflation, in Milton Friedman (Editor), Studies in the Quantity Theory of Money, Chicago: University of Chicago Press (1956).
Hyperinflasi biasanya diawali dengan resesi dan depresi. Resesi adalah sebuah kondisi dimana terjadi penurunan aktivitas ekonomi secara umum dalam suatu periode waktu. Selama resesi beberapa indikator makroekonomi (skala ekonomi yang luas dalam suatu negara) mengalami gejala yang sama. Produksi yang diukur dengan GDP (Gross Domestic Product), jumlah pekerja, investasi, kemampuan optimal produksi, pendapatan rumah tangga, dan keuntungan bisnis, seluruhnya jatuh selama resesi, semantara itu kebangkrutan dan tingkat pengangguran meningkat. Sedangkan depresi adalah suatu kondisi ekonomi suatu negara yang jauh lebih parah dibanding resesi, contohnya adalah Great Depression di AS tahun 1930-an. http://en.wikipedia.org/wiki/Great_Depression.
Fatalnya, ketiga istilah di atas (hyperinflasi, resesi, dan depresi) sedang membayangi AS hari-hari ini. John William (www.shadowstats.com) dalam sebuah wawancara dengan the gold report (http://www.theaureport.com/pub/na/6199) menyebut bahwa Hyper-inflationary depression di AS tidak dapat dihindari. Bahkan dia menyebut bahwa krisis utang Yunani adalah hal yang kecil dibanding dengan potensi krisis di AS, dia mengumpakaannya dengan seekor gajah di bathtube (bak mandi) yang semua orang bisa melihatnya dengan jelas. Salah satu masalah utama AS ke depan adalah likuiditas atau menurunnya jumlah uang beredar yang diperlukan untuk aktivitas ekonomi terutama sektor riil, dan dari data statistik di AS, memang penurunan likuiditas saat ini lebih parah dibanding resesi 1990-an lalu. Walaupun AS terus melakukan bail out ke sejumlah institusi finansial, namun sebagian besar tidak lari ke sektor riil sehingga tidak mempanguruhi income growth (pertumbuhan pendapatan) setelah disesuaikan dengan tingkat inflasi (net inflation). Ini efek dari penggunaan uang kertas yang lepas kaitannya dengan emas seperti dalam sistem moneter sekarang ini.Lebih lanjut John William menyarankan dalam mengatasi krisis global ini menyimpan sebagian aset dalam bentuk emas, untuk perencanaan keuangan yang sifatnya menengah panjang.
Negeri ini memang pernah dilanda Hyperinflation pada tahun 1965 , tingkat inflasi saat itu mencapai 650%. Dan akibatnya kebijakan sanering (pemotongan nilai mata uang) dimana Rp 1.000 uang lama menjadi Rp. 1 uang baru diberlakukan. Hungaria juga pernah mengalami hiperinflasi pada akhir 1945 hingga Juli 1946, puncaknya nilai mata uangnya pengo mengalami denominasi tertinggi senilai 100.000.000.000.000.000.000 pengo pada pertengahan 1946. padahal sebelumnya denominasi tertinggi tahun 1944 adalah 1.000 pengo. Sehingga pada 1946 uang pengo yang hampir tidak ada harganya itu digantikan dengan mata uang baru Florint. Sehingga mata uang Pengo pun harus disapu dari jalan-jalan karena sudah tidak lagi berharga (lihat gambar). Begitu pula Jerman pada tahun 1923 mengalami inflasi terburuk. Pada tahun 1922 nilai mata uang tertinggi mereka adalah 50.000 mark dan pada tahun berikutnya 1923 nilai mata uang tertinggi mereka adalah 100.000.000.000.000 mark. Sehingga akibatnya mata uang mereka dijadikan wallpaper karena nilainya sudah jatuh sedemikian rupa (lihat gambar).
Peristiwa-peristiwa di Hungaria dan Jerman di atas semoga tidak terjadi pada negeri ini. Namun kita pernah pula beberapa tahun lalu mengalami krisis moneter 1997/1998. Potensi krismon pun masih besar. Untuk mengantisipasi hal itu, maka tidak salah membangun ketahanan ekonomi kita dengan dinar sebagai investasi menengah panjang.
wallahu 'alam
Hyperinflasi biasanya diawali dengan resesi dan depresi. Resesi adalah sebuah kondisi dimana terjadi penurunan aktivitas ekonomi secara umum dalam suatu periode waktu. Selama resesi beberapa indikator makroekonomi (skala ekonomi yang luas dalam suatu negara) mengalami gejala yang sama. Produksi yang diukur dengan GDP (Gross Domestic Product), jumlah pekerja, investasi, kemampuan optimal produksi, pendapatan rumah tangga, dan keuntungan bisnis, seluruhnya jatuh selama resesi, semantara itu kebangkrutan dan tingkat pengangguran meningkat. Sedangkan depresi adalah suatu kondisi ekonomi suatu negara yang jauh lebih parah dibanding resesi, contohnya adalah Great Depression di AS tahun 1930-an. http://en.wikipedia.org/wiki/Great_Depression.
Fatalnya, ketiga istilah di atas (hyperinflasi, resesi, dan depresi) sedang membayangi AS hari-hari ini. John William (www.shadowstats.com) dalam sebuah wawancara dengan the gold report (http://www.theaureport.com/pub/na/6199) menyebut bahwa Hyper-inflationary depression di AS tidak dapat dihindari. Bahkan dia menyebut bahwa krisis utang Yunani adalah hal yang kecil dibanding dengan potensi krisis di AS, dia mengumpakaannya dengan seekor gajah di bathtube (bak mandi) yang semua orang bisa melihatnya dengan jelas. Salah satu masalah utama AS ke depan adalah likuiditas atau menurunnya jumlah uang beredar yang diperlukan untuk aktivitas ekonomi terutama sektor riil, dan dari data statistik di AS, memang penurunan likuiditas saat ini lebih parah dibanding resesi 1990-an lalu. Walaupun AS terus melakukan bail out ke sejumlah institusi finansial, namun sebagian besar tidak lari ke sektor riil sehingga tidak mempanguruhi income growth (pertumbuhan pendapatan) setelah disesuaikan dengan tingkat inflasi (net inflation). Ini efek dari penggunaan uang kertas yang lepas kaitannya dengan emas seperti dalam sistem moneter sekarang ini.Lebih lanjut John William menyarankan dalam mengatasi krisis global ini menyimpan sebagian aset dalam bentuk emas, untuk perencanaan keuangan yang sifatnya menengah panjang.
Negeri ini memang pernah dilanda Hyperinflation pada tahun 1965 , tingkat inflasi saat itu mencapai 650%. Dan akibatnya kebijakan sanering (pemotongan nilai mata uang) dimana Rp 1.000 uang lama menjadi Rp. 1 uang baru diberlakukan. Hungaria juga pernah mengalami hiperinflasi pada akhir 1945 hingga Juli 1946, puncaknya nilai mata uangnya pengo mengalami denominasi tertinggi senilai 100.000.000.000.000.000.000 pengo pada pertengahan 1946. padahal sebelumnya denominasi tertinggi tahun 1944 adalah 1.000 pengo. Sehingga pada 1946 uang pengo yang hampir tidak ada harganya itu digantikan dengan mata uang baru Florint. Sehingga mata uang Pengo pun harus disapu dari jalan-jalan karena sudah tidak lagi berharga (lihat gambar). Begitu pula Jerman pada tahun 1923 mengalami inflasi terburuk. Pada tahun 1922 nilai mata uang tertinggi mereka adalah 50.000 mark dan pada tahun berikutnya 1923 nilai mata uang tertinggi mereka adalah 100.000.000.000.000 mark. Sehingga akibatnya mata uang mereka dijadikan wallpaper karena nilainya sudah jatuh sedemikian rupa (lihat gambar).
Peristiwa-peristiwa di Hungaria dan Jerman di atas semoga tidak terjadi pada negeri ini. Namun kita pernah pula beberapa tahun lalu mengalami krisis moneter 1997/1998. Potensi krismon pun masih besar. Untuk mengantisipasi hal itu, maka tidak salah membangun ketahanan ekonomi kita dengan dinar sebagai investasi menengah panjang.
wallahu 'alam
No comments:
Post a Comment