Belum lama ini pemda Tasikmalaya ingin menerapkan
polisi syariah di wilayahnya. Kontan saja penentangan muncul dari pusat, baik
di DPR maupun pemerintah pusat. Dari DPR Nurul Arifin politisi partai Golkar
langsung menolak ide ini dengan alasan diskriminatif, sedangkan Mendagri
Gamawan Fauzi mantan Gubernur Sumbar (daerah yang terkenal dengan asas adat
basandi syara', syara basandi kitabullah-adat bersendikan syariat, syariat
bersendikan kitabullah Al Quran ) dengan tegas menolak ide ini dengan alasan
bertentangan dengan hukum yang lebih tinggi. (adakah hukum yang lebih tinggi dari
hukum Allah).
Maka menarik untuk dipelajari lembaga kepolisian
di dalam Islam. Adakah lembaga ini dalam sejarah Islam? Kalau ada, bagaimana
sejarah lembaga kepolisian dalam peradaban Islam? Apa fungsi dan
tugasnya? Siapa pula yang mempeloporinya dan bagaimana urgensi lembaga
ini dalam zaman kita saat ini dan di masa depan?
Dalam sejarah Islam lembaga kepolisian ini
bernama Asy-Syurthah. Kepolisian merupakan lembaga yang urgen dalam
pemerintahan Islam dan merupakan ciri khas dalam kehidupan sosial dan
masyarakat. Lembaga ini terdiri dari para serdadu yang menjadi tulang punggung
penjaga keamanan negara dan sistem pemerintahan serta melaksanakan
perintah-perintah yang dimaksudkan untuk menjaga keselamatan masyarakat,
mengamankan jiwa raga dan harta benda mereka, dan harga diri. Secara umum
mereka adalah pasukan penjaga keamanan dalam negeri.
Sistem kepolisian sudah ada sejak zaman
Rasulullah saw. Imam Bukhari mengemukakan dalam Shahihnya bahwa Qais bin Sa'ad
dihadapan Rasulullah saw adalah kepala polisi keamanan dari penguasa.
Sedangkan yang pertama kali memperkenalkan sistem
patroli (Al-Uss) dalam Islam adalah Umar bin Khathab. Al-Uss artinya
adalah apabila seseorang berkeliling di malam hari untuk menjaga keamanan
masyarakat dan mengungkap kejahatan. Umar bin Khathab sering kali melakukannya
di Madinah pada malam hari.
Dari penjelasan di atas maka dapat diambil
kesimpulan bahwa lembaga kepolisian telah terbentuk secara sederhana sejak masa
khulafaurasyidin, dan mengalami perkembangan dan semakin sistematis pada
masa kekhalifahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Pada awalnya lembaga
kepolisian ini berada di bawah lembaga peradilan. Tugasnya adalah melaksanakan
sangsi-sangsi yang diputuskan hakim. Namun dalam perkembangannya lembaga ini
memisahkan diri dan membentuk lembaga sendiri dibawah kepala kepolisian.
Kepala kepolisian ini pula yang berhak menentukan tindakan-tindakan kriminal.
Di setiap kota dan wilayah ada polisi-polisi yang bertanggung jawab terhadap
keamanan di wilayahnya masing-masing yang tunduk kepada atasannya secara
langsung yaitu kepala kepolisian yang mempunyai beberapa wakil dan pembantu
dengan tanda pangkat khusus, seragam khusus, dan tombak pendek, yang
bertuliskan beberapa kata yang menunjukkan nama kepala kepolisian. Mereka juga
membawa lampu penerangan pada malam hari dan ditemani anjing penjaga.
Kemudian Mu'awiyah bin Abu Sofyan memperluas
tugas dan kewenangan kepolisian serta mengembangkannya. Ia menambahkan polisi
pengawal pribadi. Mu'awiyyah merupakan orang pertama yang mengangkat pengawal
pribadi dalam peradaban Islam, terlebih lagi jika melihat banyak pemimpin
negara Islam yang terbunuh seperti Umar bin Khathab, Utsman bin Affan, dan Ali
bin Abu Thalib radhiyallahu 'anhum.
Karena itu maka kepolisian pada masa
kekhalifahan Bani Umayyah menjadi petugas pelaksana perintah khalifah, hingga
beberapa gubernur merangkap jabatannya. Pada tahun 110 H, Khalid bin Abdullah
diangkat sebagai gubernur Bashrah di samping jabatannya sebelumnya sebagai
kepala kepolisian.
Kekhalifahan Bani Umayyah menyadari arti penting
jabatan ini dan fungsi vitalnya. Maka dirumuskanlah beberapa standar terukur
mengenai karakter-karakter yang harus dimiliki seorang kepada kepolisian. Ziad
bin Abih mengatakan "Kepala kepolisian hendaklah memiliki kecakapan dan
kuat dan tidak mudah lupa, sedangkan pengawal pribadi hendaklah telah berumur,
mampu menjaga kesucian diri, dan tidak memiliki catatan kriminal.
Seorang gubernur Irak Al Hajjaj bin Yusuf
Ats-Tsaqafi pada masa kekhalifahan Abdul Malik bin Marwan mencari seseorang
yang mampu menjadi kepala kepolisian di Kufah. Untuk itulah, maka ia
bermusyawarah dengan beberapa tokoh dan mereka yang berpengaruh. Lalu mereka
bertanya kepadanya. "Lelaki yang bagaimana yang kamu inginkan? Ia menjawab
"Aku menginginkan lelaki yang Thawil al-Julus (ungkapan yang
artinya seseorang yang memiliki kesabaran dan kecakapan) , Samin Al-Amanah (ungkapan
tentang kemampuannya untuk menjaga dan melaksanakan tugas dan tanggung jawab),
A'jaf Al-Khianah (ungkapan kemampuan tentang tugas dan tanggung jawab juga
ketika seseorang tidak memiliki tanggung jawab), tidak meremehkan kebenaran mesti
sekecil apapun, dan tidak menerima penengah atau campur tangan dari para
pemimpin negara dan orang-orang yang berpengaruh". Kemudian salah seorang
penasihatnya mengatakan" Hendaklah kamu memilih Abdurrahman bin Ubaid
at-Tamimi". Kemudian Abdurrahman bin Ubaid pun dipanggil menghadap
kepadanya untuk diangkatnya. Akan tetapi Abdurrahman mengatakan,"Aku tidak
bersedia menerimanya kecuali kamu melindungiku dari keluargamu, putramu, dan
pengawalmu." Al Hajjaj mengatakan,"Wahai anak muda, serukanlah kepada
semua orang," Barangsiapa dari mereka yang mengadukan keperluannya
kepadamu, maka aku tidak mencampurinya."
Karena kompetensi dan kemampuannya dalam
memulihkan keamanan, maka Asy-Sya'bi mengatakan, "Terkadang ia bertugas
selama empat puluh malam dan tidak seorangpun yang diadukan kepadanya. Melihat
prestasinya ini, maka Al-Hajjaj menggabungkan kepolisian Bashrah dan Kufah
dalam wilayah kekuasaannya."
Karena itulah, tugas kepala kepolisian semakin
berkembang pada masa kekhalifahan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah. Dalam hal
ini sejarahwan Ibnu Khaldun mengatakan,"Pengawasan terhadap berbagai
tindak kejahatan dan penerapan sangsi-sangsinya dalam pemerintahan Bani
Abbasiyah dan Bani Umayyah di Andalusia, Al Ubaidi di Mesir dan Maroko
diamanatkan kepada kepada kepolisian. Kepala kepolisian merupakan salah satu
jabatan keagamaan pada masa pemerintahan tersebut.Tugas dan pengawasannya
mengalami perluasan dan hingga mencakup hukum-hukum pengadilan, membuat
tuduhan, menerapkan sangsi-sangsi pencegahan sebelum kejahatan-kejahatan
tersebut benar-benar terungkap dan menerapkan sangsi yang sudah tetap, menjatuhkan
Qishash, menjatuhkan ta’zir dan hukuman kepada orang yang terus-menerus
melakukan kejahatan.
Apabila tugas kepala kepolisian pada masa
khulafaurasyidin dan permulaan kekhalifahan Bani Umayyah mengalami peningkatan
dari pelaksana perintah-perintah lembaga kekhalifahan menjadi pengawas berbagai
tindak kejahatan dan menerapkan sangsi-sangsinya, maka pemerintahan Islam
melihat arti pentingnya pendirian lembaga pemasyarakatan untuk memasukkan para
penjahat, dan mereka yang menjadi provokator dan sumber kejahatan, serta
berbagai kerusuhan dalam negara.
Ath-Thabari mengemukakan bahwasanya Ziad bin Abih
memasukkan beberapa pemberontak dalam tahanan, terutama kelompok Ibnu
Al-Asy’ats seperti Qabishah bin Dhubai’ah Al-Asadi.
Untuk membangun rumah-rumah tahanan ini ,
pemerintah mempergunakan harta Baitul Mal sebagai modal pembiayaannya. Sebab
rumah-rumah tahanan ini mampu membendung kejahatan para residivis dan gangguan
mereka terhadap masyarakat. Boleh saja mempergunakan Baitul Mal sebagai modal
pembiayaan pembangunan rumah tahanan ini. Karena itulah, maka Al Qadhi Abu
Yusuf mengusulkan kepada khalifah Harun Al Rasyid untuk melengkapi rumah-rumah
tahanan dengan pakaian-pakaian kapas pada musim panas dan wol pada musim
dingin. Perhatian terhadap kesehatan para tahanan merupakan salah satu
kebijakan penting.
Para khalifah Bani Abbasiyah berupaya mengangkat
para kepala kepolisian yang berkarakter keilmuwan, memiliki ketakwaan dan
wawasan tentang hukum-hukum Islam dan tidak dicela dalam menerapkan
sangsi-sangsi. Dalam Tabshirah Al-Hukkam,
Ibnu Farhun mengatakan,” Pada suatu ketika, kepala kepolisian Ibrahim bin
Husain bin Khalid menerapkan sangsi kepada salah seorang saksi palsu di depan
pintu gerbang sebelah barat. Lalu ia mencambuknya sebanyak empat puluh kali,
mencukur jenggotnya, dan menghitamkan wajahnya, diarak sebelas kali dalam dua
masa, seraya menyerukan,” Inilah balasan bagi orang yang memberikan kesaksian
palsu,” Kepala kepolisian ini adalah orang yang memiliki keutamaan, terbaik,
dan pakar hukum Islam, serta pandai tentang tafsir dan menjadi kepala
kepolisian bagi Al-Amin Muhammad. Ia hidup semasa dengan Mutharrif bin Abdullah
sahabat Imam Malik dan meriwayatkan Muwaththa’nya
darinya.
Karena kompetensi yang dimiliki beberapa komandan
militer dalam kekhalifahan Bani Abbasiyah, khalifah Al-Makmun mengangkat
Abdullah bin Thahir bin Al-Husain sebagai kepada kepolisian di ibu kota
kekhalifahan Baghdad setelah ia bertugas dalam bidang kemiliteran dan ikut
dalam berbagai peperangan dan penaklukan-penaklukan yang dilancarkannya.
Lembaga kekhalifahan juga tidak segan-segan
memberhentikan secara tidak hormat terhadap kepala kepolisian yang menyeleweng,
yaitu mereka yang memberikan sangsi lebih dari semestinya dan tidak
mengedepankan bukti-bukti dalam kepemilikan. Khalifah Al-Muqtadir Billah dari
Bani Abbasiyah memberhentikan secara tidak hormat terhadap Muhammad bin Yaqut
seorang kepala kepolisian di Baghdad dan tidak memperbolehkannya memegang
jabatan apa pun dalam pemerintahan karena sikap dan perilakunya yang buruk
menyimpang.
Tugas dan kewenangan kepala kepolisian pada masa
sekarang sangatlah beragam dan komplek. Di sebagian besar negara-negara Islam,
kepala kepolisian merangkap jabatan di samping menjaga keamanan, menangkap para
pencuri dan penjahat, dan menjaga ketertiban umum. Mazahim bin Khaqan (235 H)
seorang gubernur Mesir menginstruksikan kepada kepala kepolisiannya Azjur
At-Turki untuk melarang kaum perempuan mengenakan pakaian yang membangkitkan
birahi ataupun berziarah kubur, menghukum para bencong dan orang-orang yang
meratapi jenazah secara berlebihan, disamping mencegah tempat-tempat hiburan
dan memerangi minuman keras.
Adapun para polisi yang mengabaikan tugas-tugas
mereka, maka para khalifah memaksa mereka untuk segera mengoreksi kesalahan
mereka dengan segera, mencari kebenarannya dan mencegah penyebaran dampak
negatifnya pada masyarakat umum. Imam Ibnul Qayyim dalam Ath-ThuruqAl-Hukmiah mengemukakan sebuah kisah yang membuktikan
tentang tugas dan kecerdikan petugas kepolisian pada masa kekhalifahan Bani
Abbasiyah terutama pada masa-masa krisis.
Dalam sebuah peristiwa disebutkan bahwasanya
beberapa pencuri melakukan aksi pencurian besar-besaran pada masa khalifah Bani
Abbasiyah Al-Muktafi dan berhasil mendapatkan harta yang berlimpah. Mendapati
peristiwa ini, maka Al-Muktafi segera
menginstruksikan kepada kepala kepolisian untuk menangkap para pencuri tersebut
atau harus membayar denda dengan sejumlah harta.
Mendengar perintah dan ancaman sang khalifah ini,
maka kepala kepolisian itu pun segera memacu kendaraannya dan mengelilingi wilayah tersebut sepanjang siang dan malam. Hingga
pada suatu ketika ia melewati sebuah lorong yang sepi yang terletak di sebuah
sudut kota. Kemudian ia pun segera turun dari kendaraannya dan memasuki komplek
yang sepi tersebut dan ia mendapati sesuatu yang mencurigakan.Tiba-tiba ia
melihat duri-duri ikan dan tulang belulang yang sangat banyak di beberapa pintu
dari sebuah rumah. Lalu kepala polisi itu pun bertanya kepada salah seorang
penduduk setempat. “Berapa kira-kira harga ikan ini dengan jumlah duri dan
tulang belulang sedemikian banyak?”Orang yang ditanya menjawab,” Satu Dinar.” Kepala
polisi bertanya lagi,” Warga lorong ini tidak mungkin membeli sesuatu sebanyak
ini jika melihat kondisi perekonomian mereka. Sebab lorong ini jelas-jelas
tertinggal dan berada di dekat gurun, tidak seorang pun yang tinggal di sini
dengan membawa harta sebanyak itu atau ia membelanjakan hartanya dengan jumlah
banyak. Semua ini pastilah mengundang teka-teki yang harus segera diungkap,”Mendengar
keterangan polisi ini, maka warga tersebut mengingkarinya seraya mengatakan, “Ini
tidak mungkin.” Lalu ia mengatakan.“Carikanlah seorang perempuan yang tinggal
di gang buntu. Aku ingin berbincang-bincang dengannya.” Kemudian mereka
menunjukkan pada sebuah rumah. Polisi itupun mendatangi sebuah pintu rumah
selain rumah yang banyak durinya tersebut dan mengetuk pintunya, seraya
berpura-pura meminta air minum. Kemudian keluarlah seorang perempuan yang telah
lanjut usia. Polisi itu pun masih saja meminta air minum seteguk dan seteguk
sambil berbincang-bincang dengannya dan perempuan tua itu dengan sabar menuangkannya.
Selama itu pula sang polisi menanyakannya tentang gang buntu itu dan
orang-orang yang menghuninya. Perempuan tua memberitahukan segala sesuatu yang
ditanyakan kepadanya tanpa menyadari akibat dari keterangannya itu. Hingga
polisi itu bertanya kepadanya,”Dan rumah ini siapa yang menghuninya?-sambil
menunjuk pada rumah yang banyak duri dan tulang belulangnya-,”Perempuan tua itu
menjawab,” Rumah itu dihuni lima orang pemuda yang berpenampilan garang dan
pemberani. Sepertinya mereka para pedagang. Mereka tinggal di rumah tersebut
sejak sebulan yang lalu. Kami tidak melihat mereka kecuali pada siang hari
dalam waktu yang lama. Kami pernah melihat salah seorang dari mereka keluar
dari rumah tersebut untuk suatu keperluan dan kemudian kembali dengan tergesa-gesa. Sepanjang siang mereka
hanya makan dan minum, bermain catur dan dadu. Mereka mempunyai seorang
pembantu yang melayani kebutuhan mereka. Ketika malam menjelang maka mereka
pulang ke rumah pelacuran dan meninggalkan pembantunya di dalam rumah untuk
menjaganya. Menjelang pagi maka mereka datang dan kami sedang tertidur sehingga
tidak merasakan kehadiran mereka.” Lalu perempuan itu bertanya kepada polisi
tersebut ,”Apakah ini ciri-ciri pencuri ataukah tidak?”Sang polisi menjawab,”Ya”.
Setelah melakukan penelusuran dan yakin dengan sasarannya, maka polisi itu pun segera mengontak sepuluh polisi lainnya dan menyiagakan mereka di atap-atap rumah tetangga. Sedangkan ia sendiri mengetuk pintu rumah para pencuri tersebut. Lalu si pembantu membukakannya. Lalu kepala kepolisian itu masuk dan ditemani sang pembantu. Tidak satupun dari para pencuri itu yang lepas dari penyergapannya. Mereka adalah para pelaku kejahatan.
Kisah ini membuktikan kecerdasan dan kecerdikan seorang kepala kepolisian Baghdad dan kecekatannya melaksanakan instruksi sang khalifah.
Setelah melakukan penelusuran dan yakin dengan sasarannya, maka polisi itu pun segera mengontak sepuluh polisi lainnya dan menyiagakan mereka di atap-atap rumah tetangga. Sedangkan ia sendiri mengetuk pintu rumah para pencuri tersebut. Lalu si pembantu membukakannya. Lalu kepala kepolisian itu masuk dan ditemani sang pembantu. Tidak satupun dari para pencuri itu yang lepas dari penyergapannya. Mereka adalah para pelaku kejahatan.
Kisah ini membuktikan kecerdasan dan kecerdikan seorang kepala kepolisian Baghdad dan kecekatannya melaksanakan instruksi sang khalifah.
Bersambung
Sumber : Sumbangan Peradaban Islam pada Dunia
(Prof.Dr. Raghib As-Sirjani, 2011 Penerbit Pustaka Al Kautsar)
No comments:
Post a Comment