www.gata.com

Grafik Pergerakan Harga Dinar dalam Rupiah & Dollar AS


 

Monday, December 7, 2020

Kehancuran Mata Uang Austria dan Jerman 1920-1922

Pada tahun 1920 setelah perang dunia pertama berakhir. Beberapa negara Eropa mengalami krisis mata uang. Austria adalah negara Eropa pertama yang mengalami kehancuran nilai mata uang. Penulis Austria Stefan Zweig menceritakan peristiwa itu dalam otobiografinya The World of Yesterday sbb:

Setiap hotel di Vienna (ibu kota Austria) dipenuhi oleh turis asing, mereka membeli apa saja mulai dari sikat gigi hingga properti, memborong koleksi pribadi dan barang-barang antik sebelum para pemilik toko  menyadari bahwa mereka terjebak dalam sebuah "penjarahan".  Pegawai hotel rendahan dari Swiss, juru tulis dari Belanda dapat menyewa kamar mewah di hotel-hotel di kawasan strategis Ringstrasse . Saya menyaksikan sendiri bagaimana hotel kelas satu di Salzburg, de l'Europe dibanjiri oleh para pengangguran yang karena  sedekah para dermawan di negara asalnya dapat menyewa hotel ternama itu dibanding pemukiman kumuh di negara asal. Setiap barang yang belum diberi harga menghilang di pasaran. Kabar biaya hidup dan produk yang murah di Austria menyebar dengan cepat dan luas. Para pelancong yang "haus" mulai datang dari Swedia hingga Perancis, lebih banyak orang yang berbicara bahasa Italia, Perancis, Turki, dan Rumania dibanding bahasa Jerman sendiri (bahasa penduduk Austria) di kawasan bisnis kota Vienna."

Semua itu terjadi karena nilai mata uang Austria (Krona) kala itu jatuh sedemikian rupa, sehingga nilainya amat rendah jika dinilai oleh mata uang negara-negara Eropa  lainnya.

Setahun kemudian kehancuran nilai mata uang menghampiri Jerman. Ditandai dengan hyperinflation (kenaikan luar biasa harga barang dan jasa secara umum di suatu negara) mendera Jerman saat itu. Stefan Zweig dalam buku yang sama menggambarkan situasi Jerman kala itu sbb :

Biaya untuk membuat sepasang tali sepatu sama dengan membuat sepasang sepatu sebelum krisis, biaya memperbaiki jendela sebuah rumah sama biayanya dengan membangun sebuah rumah di masa sebelumnya, harga sebuah buku setara  dengan nilai sebuah usaha penerbitan yang mempunyai ratusan mesin cetak. Dengan uang $100 seseorang dapat membeli sebaris gedung enam lantai di Kurfürstendamm dan sebuah pabrik setara nilainya dengan sebuah gerobak pada masa sebelum krisis

…Di atas itu semua adalah Hugo Stinnes, figur yang mengambil keuntungan (dalam kesulitan) dengan menggelembungkan nilai kredit atau utangnya sehingga bisa mengeksploitasi nilai Mark (mata uang Jerman) dan membeli apapun yang dijual mulai dari tambang batubara hingga kapal laut, pabrik hingga saham, kastil hingga real estate, dengan nilai yang nyaris nihil, karena setiap transaksi, setiap utang nyaris tidak ada lagi harganya. Dalam waktu yang tak lama, seperempat aset yang ada di Jerman berada dalam genggamannya. Anehnya orang-orang yang matanya sudah tertipu dengan kekayaan dan popularitas Stinnes menjulukinya sebagai Jenius."

Kisah di atas mirip dengan apa yang terjadi saat ini, ketika pasar finansial mendominasi, dan pasar riil atau komoditas menjadi minoritas. Pasar finansial dapat menggelumbung nilainya secara cepat, dan ketika gelembung itu pecah menyisakan produk yang nyaris tidak bernilai.

Di negeri ini krisis moneter 1997-1998 dengan jatuhnya nilai Rupiah terhadap Dollar hanya contoh kecil bagaimana pasar valuta asing bisa digoncang sedemikian rupa oleh seseorang atau kelompok di negeri nun jauh disana. Nilai Rupiah yang jatuh sedemikian rupa, dengan segera properti aset bangsa ini beralih ke "tangan-tangan" asing yang hingga saat ini belum kembali. Maka sistem moneter berbasis emas adalah salah satu solusi ketahanan negara dalam mengatasi ketidakstabilan saat ini.


No comments: